AS Godok RUU Anti Loot Box, Akhir Era Mikrotransaksi?

Christian Ponto
09/05/2019 16:24 WIB
AS Godok RUU Anti Loot Box, Akhir Era Mikrotransaksi?
Fitur Loot Box dan P2W Dituding Sebagai Aksi Eksploitasi Anak

Layaknya efek dua mata pisau, maka pesatnya perkembangan gim dan industri esports juga 'menajamkan' perhatian dunia terhadap dampak buruk dari olahraga elektronik ini secara lebih masif.

Sebagaimana kita ketahui, selama satu dasawarsa terakhir, para pengembang gim mulai membanjiri pasar dengan gim-gim gratis tapi menawarkan konsep mikrotransaksi (lebih konyol lagi bila gim berbayar namun masih menerapkan hal demikian). Oleh karenanya, ditawarkanlah fitur-fitur semacam Loot Box, yang mengharuskan pemain membayar sejumlah uang baik dalam ingame currency maupun secara online (via third party), untuk memperoleh item-item tertentu. Konsepnya sendiri tidak seutuhnya buruk, karena jelas lebih banyak orang bisa mengakses gim tersebut.

Tapi, lambat laun hal ini membuat jurang pemisah yang begitu besar antara gamer berkantong tebal dengan casual gamer yang lebih condong bermain untuk kesenangan belaka. Ini pun yang kemudian memicu lahirnya istilah Pay-to-Win (P2W), dengan tendensi bahwa pemain tertentu bisa membeli 'jalur kesenangan' yang oleh gamer lain mungkin butuh waktu lama demi mencapainya.

Aspek negatif lain yang menonjol dari fitur Loot Box dalam suatu gim adalah konsep dasarnya yang berupa 'chance' atau peluang untuk mendapatkan item berharga sangat kecil, malah kadang 'diusili' oleh oknum pengembang gim tertentu hingga hampir tidak mungkin memperoleh item yang kita inginkan. Sehingga banyak kalangan pun lantas menudingnya sebagai judi.

Lebih jahatnya lagi, sejumlah gim dengan konsep Loot Box ini, meski berlabel khusus dewasa ternyata banyak pula diakses oleh anak-anak usia belia. Sehingga lembaga pemerintahan di negara-negara mulai curahkan perhatian lebih pada fitur Loot Box yang mudah terpapar oleh kaum muda pada gim-gim tertentu.

Model Mikrotransaksi Sudah Usang?

Hal inilah yang kemudian memicu Senator AS, Josh Hawley (R-MO), untuk mengusulkan adanya RUU yang menolak konsep mikrotransaksi, atau fitur Loot Box dalam gim. Proposal RUU yang diberi nama, 'Protecting Children from Abusive Games Act' ini secara khusus menargetkan gim-gim yang melakukan pembiaran konsep mikrotransaksi dalam gim mereka dapat diakses oleh gamer usia muda.

"Bila sebuah gim diperuntukkan bagi anak-anak, maka pengembang gim seharusnya tidak boleh memonetisasi adiksi - efek ketagihan bermain sang anak," tandas Josh Hawley, melalui peryataan terbuka via situsnya (8/5). "Dan, manakala anak-anak bermain gim untuk dewasa, mereka harus dicegah dari akses fitur mikrotransaksi. Developer yang sengaja memanfaatkan ini sebagai upaya eksploitasi anak harus dikenai ganjaran hukum."

Pernyataan dari Josh Hawley, plus proposal RUU Anti Mikrotransaksi ini, seakan menjadi puncak gunung es yang lama jadi perhatian komunitas gamer selama ini. Tidak hanya berunsur judi, dalam implementasinya, model mikrotransaksi juga terasa usang dan perlu dicarikan bentuk lebih segar yang tentunya ramah bagi para penikmatnya dari berbagai kalangan.

Termasuk adanya inisiatif dari beberapa negara yang sudah lebih dulu menetapkan pelarangan terhadap fitur Loot Box dalam gim karena dianggap telah menerapkan konsep judi online pada fitur-fiturnya. Di antara banyak kasus yang akhirnya marak terjadi, sebagian besar gamer dalam gim-gim tersebut menjadi terlalu impulsif dan cenderung ketagihan dengan membeli Loot Box, meski dirinya terbelit hutang.

ESA Tanggapi RUU Anti Mikrotransaksi

Namun, upaya pemblokiran gim-gim berkonsep mikrotransaksi yang dapat diakses oleh gamer usia muda ini langsung terima respon dari The Entertainment Software Association (ESA), yang merupakan asosiasi dagang industri video game di AS.

"Sejumlah negara seperti Irlandia, Jerman, Swedia, Denmark, Australia, Selandia Baru, dan Inggris, tidak menemukan adanya unsur judi dalam fitur Loot Box," ungkap Stanley Pierre-Louis, selaku CEO dari ESA. "Kami siap berbagi informasi dengan senator (Josh Hawley - red) terkait apa yang telah kami lakukan untuk menjaga agar pembelanjaan item ingame diawasi oleh orang tuanya. Para orang tua sudah diberikan akses untuk membatasi atau melarang adanya pembelian dalam gim melalui penggunaan fitur parental controls yang cukup mudah dipahami."

Meski bertolak belakang, kedua opini baik dari Senator Josh Hawley maupun pihak ESA sebenarnya tidak sepenuhnya saling bertentangan. Hanya saja adanya RUU Anti Mikrotransaksi ini bisa berdampak besar bagi industri gim global ke depannya sehingga perlu dirancang sedemikian rupa agar tidak bersifat 'merusak'.

Seyogianya, RUU usulan Josh Hawley memang berkesan mengecilkan upaya para developer gim, namun secara logis isinya tidak terlalu melenceng. Karena pada intinya, RUU ini menentang bila fitur Loot Box ataupun sistem mikrotransaksi ini jadi konsumsi gamer usia muda, khususnya di gim-gim berlabel dewasa. Pada kenyataannya memang banyak gim dengan label 'Teen' dan 'Everyone' yang memasukkan unsur item-item PHP ini untuk diakses secara bebas.

Akhir kata, RUU Anti Mikrotransaksi ini menggarisbawahi pembatasan akses bagi anak-anak untuk mengakses fitur belanja item ingame melalui Loot Box. Jadi, mau seuntung apapun model bisnis ini bagi industri gim, satu hal yang perlu sama-sama kita sepakati adalah tidak ada alasan atau pembenaran akan upaya eksploitasi anak melalui konsep 'menjebak' sejenisnya.