Dentuman suara keyboard terdengar meriah bersamaan dengan gesitnya tangan yang menggenggam mouse. Nampak terang layar monitor berisikan turnamen videogame para atlet esports yang sedang diperjuangkan. Jersey Dri-Fit dengan logo tim kebanggan gagah dikenakan di atas panggung akbar nan berkilauan cahaya. Tak lupa sorak sorai penonton menjadi suntikan penyemangat para atlet dalam mengejar titel juaranya. Demikianlah sejumput gambaran akan industri baru yang amat kita gemari, electronic sport atau esports.
Di balik perkembangan industri esports yang cukup melejit, muncul rangkaian pro-kontra yang ikut meramaikan suasana. Salah satunya adalah mereka yang mempertanyakan absennya sisi ‘olahraga’ dari esports. Bagaimana tidak? Padanan esports sendiri sudah meletakkan kata “sport” dalam istilahnya. Namun, apakah bermain videogame untuk turnamen setara dengan olahraga pada umumnya?
Faktanya, dua helatan akbar kejuaraan olahraga sudah resmi melibatkan esports, yakni Asian Games 2018 dan SEA Games 2019. Walaupun pada gelaran Asian Games 2018 lalu esports masih menjadi cabang ekshibisi, masuknya esports mengisyaratkan videogame sebagai satu ajang yang tak kalah kompetitif. Hanya jelang satu tahun, esports pun resmi dipertandingkan dalam SEA Games 2019 untuk memperebutkan medali di Filipina.
SEA Games 2019: Source Google
Para praktisi dan ahli esports biasanya sepakat akan satu hal, yakni kesamaan esport dengan game papan catur. Persamaannya dapat diulik dari postur badan yang duduk selama berpuluh menit atau bahkan berjam-jam serta butuhnya tingkat konsentrasi maksimal yang penuh. Dikutip dari Reuters, catur sendiri sudah dipertandingkan secara resmi dalam skala internasional pada Olimpiade di Sydney tahun 2000 silam.
Kendati sudah secara resmi dimasukkan ke dalam kompetisi akbar olahraga bertaraf internasional, pertanyaan utama terkait esports masihlah sama. Benarkah esports sama dengan olahraga lain yang menguras tenaga?
Brizio “Hyde” Adi Putra menjadi satu dari sekianbanyak praktisi esports yang mengiyakan persamaan esports dengan catur. Menurut Support player dari BOOM Esports tersebut catur memiliki beberapa poin penting yang sama dengan esports “Itungannya kayak catur sih, kayak olahraga otak. Dipakai decision making-nya, strategi (skill) individu. Kayak bola saja, cuman banyak aktivitas otaknya daripada fisik. Jadi ya keitungnya olahraga,” ucap Hyde.
Senada dengan Hyde, Abdul “Huginn” Rozak selaku atlet game FIFA mengatakan persamaan catur dengan game FIFA. Ujarnya game FIFA pun perlu konsentrasi penuh saat memainkannya. “Catur kan perlu berpikir langkah ke depan, (game) FIFA juga sama, saya harus berpikir mau ngoper bola ke mana untuk mencetak gol, berpikir bagaimana bertahan dari serangan lawan. Perlu konsentrasi yang tinggi juga seperti catur,” terang Huginn
Bahkan selain catur, banyak cabang olahraga lain yang tidak melibatkan aktivitas fisik berat namun tetap dipertandingkan dalam kejuaraan skala besar. Sebut saja Dart, Panahan, maupun Billiard. Eddy Lim selaku pendiri LigaGame dan Ketua IESPA menambahkan persamaan esports dengan olahraga-olahraga tersebut yang disebut olahraga permainan atau ketepatan. “Olahraga itu banyak yang membutuhkan konsentrasi, skill, refleks, dan segala macam. Contohnya, memanah pakai apa? Perlu tarik, konsentrasi, sama otaknya mikir. Menembak? Catur? Bridge? Billiard? pun sama. Nah ini olahraga permainan atau ketepatan, esports masuknya ke dalam kategori itu,” tutur Eddy.
Kompetisi Esports: Source Google
Cabang olahraga yang disebutkan di atas memang selalu muncul dalam kompetisi akbar skala nasional bahkan internasional. Sebagai contoh, mengutip Reuters, partisipasi Billiard akan diikutsertakan dalam ajang Olimpiade di Paris pada 2024 mendatang. Tentu para praktisit setuju jika esports dikategorikan sebagai olahraga. Lantas, bagaimana pendapat dari praktisi dan akademisi olahraga? Apakah setuju dengan kategorisasi esports sebagai olahraga?
Akademisi sportscience Jajat Darajat, M. Kes., AIFO membeberkan pendapatnya terkait esports. Dosen Fakultas Pendidikan Kesehatan dan Olahraga (FPOK) Universitas Pendidikan Indonesia tersebut mengatakan bahwa sejujurnya belum ada jurnal ilmiah yang secara spesifik mengkategorikan esports sebagai olahraga pada umumnya. Walaupun, Jajat mengatakan kompetisi akbar SEA Games 2019 lalu sudah mempertemukan dan mempertandingkan esports, ia belum bisa mengonfirmasi terkait keabsahan sisi olahraga dari esports.
“Kalau kita lihat artinya olahraga, raganya bergerak dengan dominan atau tidak? Mungkin hanya jari-jari atau lengan yang bergerak. Jadi belum ada kajian khusus yang bisa mengatakan kalau esports adalah olahraga,” kata Jajat. Walau ia enggan menyamakan esports dengan olahraga, Jajat tetap mengakui persamaan catur dengan esports. Menurutnya, fungsi otak benar-benar mendominasi dalam esports maupun catur. Ia juga percaya atlet esports dan catur perlu tubuh dan fisik yang ideal guna membantu jalannya fungsi otak dan konsentrasi.
“Esports dengan catur itu sama, seorang master catur mungkin berpikir 20 langkah ke depan. Berpikir taktisnya sangat tinggi, fungsi otaknya luar biasa. Begitu juga dengan esports, membuat strategi dalam otak terkait langkah-langkah yang akan diambil, berpikir taktisnya cepat,” terang Jajat akan persamaan catur dan esports. Tentunya untuk menjadi grandmaster catur tidaklah mudah. Sama halnya dengan esports, butuh pengalaman dan pemahaman yang mendalam agar bisa menempuh titel grandmaster. Seorang ilmuwan asal Irlandia Michelle Cowley menjelaskan para grandmaster catur sudah sampai di tahap memprediksi gerakan lawan dengan cara memalsukan gerakannya sendiri seperti dikutip nature.com.
Lantas, apakah menjadi atlet esports tak membutuhkan badan yang fit? Apakah para atlet esports perlu tubuh yang bugar guna mempertajam daya konsentrasi mereka? Jajat menjelaskan pentingnya menjaga kebugaran tubuh para atlet esports. Menurutnya, banyak keuntungan yang didapat para atlet saat menjaga kebugaran fisiknya seperti meningkatnya daya tahan tubuh hingga mengendalikan anxiety.
ONIC PH vs SGD Omega, source: Youtube
Ia mengatakan dalam tubuh manusia ada hormon Kortisol yang akan meningkat jika stress. Tingkat stress para atlet esport dapat meningkat kala duduk berjam-jam tentunya dengan tekanan yang ia dapat di dalam game. “Ada penelitian di Jerman pada permainan virtual sepakbola. Satu jam pertama hormon Kortisol meningkat. Hormon Kortisol dapat dikontrol dengan latihan fisik yang akan mengurangi hormon saat (atlet) sedang tertekan,” ucap Jajat akan pentingnya menjaga kebugaran fisik atlet.
Memang tak dapat dipungkiri durasi turnamen para atlet esport sangat menguras waktu. Sebut saja laga antar ONIC PH kontra SGD Omega pada MPL PH lalu yang menembus angka 54 menit. Bahkan match Liquid VS VirtusPro pada helatan The International 7 lalu selesai dalam 1 jam 43 menit. Berkenaan dengan itu, Marzarian Sahita selaku manajer BOOM Esport menjelaskan bagaimana timnya menangani kebugaran fisik. Lebih jauh lagi, ia menjelaskan BOOM sudah memiliki mental trainer pribadi guna menjaga kesehatan mental para atlet.
"Di BOOM kita terapkan ke beberapa player untuk masalah olahraga, setiap pagi pemanasan, senam-senam ringan. Beberapa hari kita ajak mereka jogging. Untuk urusan mental, kita punya mental trainer, ada tim psikolog yan memang punya sesi khusus dengan player supaya mentalnya terjaga,” pungkas pria yang akrab disapa Ojan tersebut.
Permasalahan mental memang patut diberi perhatian khusus dalam profesional scene. Hal tersebut diungkapkan player Dota 2 Legendaris Danil “Dendi” Ishuttin. Dalam podcastnya yang dirilis akun Youtube B8 pada akhir April 2020 lalu, ia menjelaskan absennya salah satu roster B8 yakni KingR dalam turnamen WePlay! Pushka League lantaran mengalami kelelahan mental.
Dari semua penjelasan di atas, memang dapat disimpulkan bahwa esports tidak bisa secara gamblang dikategorikan sebagai olahraga. Tapi layaknya dua sisi koin yang berbeda, esports juga membutuhkan tubuh yang bugar guna mempertahankan konsentrasi para atlet. Berangkat dari situ pula dapat disimpulkan untuk menjadi atlet esports tak hanya mengandalkan skill yang mumpuni, tetapi juga pelatihan fisik yang cukup.
Source: Iespa
Dipertandingkannya esports dalam helatan Asian Games 2018 & SEA Games 2019 lalu serta penjelasan dari para praktisi maupun akademisi esports cukup memberi jawaban terkait pro-kontra esports dari kacamata olahraga. Walaupun tidak melibatkan aktivitas fisik yang berat, esports juga patut dipertandingkan dalam kontestasi olahraga serta membutuhkan kebugaran fisik yang prima. Bagaimana pendapatmu Sobat Esports?
Upcoming Tournament | Lihat Semua > | |
---|---|---|
Belum ada event
|
Ongoing Tournament | Lihat Semua > | |
---|---|---|
Belum ada event
|
Video Pilihan | ||
---|---|---|
|