Esports

Menghapus Stigma Dunia Esports, Mungkinkah Perilaku Toxic Dihilangkan?

Billy Rifki
09/06/2024 15:20 WIB
Menghapus Stigma Dunia Esports, Mungkinkah Perilaku Toxic Dihilangkan?
esports.id, MPL

Industri gaming kompetitif yang makin meroket di tanah air kian menyita perhatian. Mulai dari kabar para pelaku seperti player dan tim esports, popularitas turnamen sampai bumbu-bumbu drama jadi konsumsi rutin penikmatnya.

Di antara berita-berita baik dunia esports, masih ada stigma-stigma melekat yang tak kunjung bisa ditutupi. Misalnya, main game bikin anak bodoh dan lupa pendidikan, main game tak punya masa depan dan lain-lain. Berbagai edukasi dilakukan untuk menegaskan kalau esports bukan buang-buang waktu. Banyak hal yang bisa didapat mulai dari penghasilan, masa depan menjanjikan dan prestasi yang mengharumkan bangsa.

Salah satu stigma paling lekat dalam gaming dan esports adalah kecenderungan para pemain atau influencer bersikap toxic di media sosial. Perilaku ini seakan dimaklumi sebagai hal lumrah karena keterbiasaan sehari-hari. Namun, sebagai orang yang memiliki pengaruh luas, ada tendensi kalau segala tingkah polah dan gaya bicara sosok tenar di esports bakal ditiru penggemarnya.

Sampai muncul kekhawatiran di kalangan orangtua kalau menyaksikan para pembuat konten gaming jadi pemicu anak-anak mereka bersikap tak sopan saat bermain dengan sebayanya.

Mungkinkah sikap toxic bisa dihapuskan dari dunia gaming, khususnya esports?

Pertama, toxic di sini bisa diartikan berbagai hal. Paing lazimnya adalah banyak ucapan atau kata-kata tak pantas yang terucap dari mulut oknum streamer. Hal ini juga sempat jadi polemik di netizen yang membandingkan streamer gaming yang “friendly” dan yang toxic.  

Kedua, banyak pemain, influencer, streamer yang berkarir di dunia esports punya umur yang masih belia. Mendapatkan ketenaran di usia muda, kedewasaan mereka belum mengimbangi cara bersikap yang bijak di media massa. Di satu sisi, bersikap kaku dan santun saat interaksi antar idola dan penggemar seakan tak menarik bagi banyak orang karena tak menimbulkan kedekatan ataupun rasa “relateable”.

Satu hal yang sering disalahpahami oleh masyarakat Indonesia adalah kalau ada seseorang yang berbuat kurang menyenangkan, dalam kasus ini misalnya streamer toxic, merekalah yang harus disalahkan dan divonis untuk berubah lebih baik. Sementara para netizen tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyikapi dengan bijak dan memilah mana sisi baik untuk diambil dan mana sisi menghibur.

Dalam kesempatan membahas stigma miring dunia esports yang berlangsung di playoffs MPL Season 13, Baloyskie, kapten dan pemain tim Geek Fam memberi sedikit pendapatnya soal stigma toxic dan mungkinkah ini dihilangkan dalam dunia esports.

"Menurut gua semua pekerjaan bisa toxic juga tergantung orangnya. Kalau tim kamu ngga toxic, kamu jangan toxic. Pasti ada kritik memang buat kamu, tapi kalau kamu bisa berlaku baik, pasti baik juga yang kamu terima,” ujarnya

Terkait dengan life changing destiny yang sering dikisahkan pemain-pemain sukses dunia esports, para player MLBB Indonesia saat ini tengah berjuang mendapatkan slot MSC 2024 di Riyadh, Arab Saudi. Untuk pertama kalinya prize pool yang ditawarkan tak main-main mencapai $3.000.000 USD.

Selain prestasi yang jadi incaran utama, hadiah uang juga mereka dambakan untuk memberikan kualitas hidup lebih baik untuk keluarga dan orang terdekat mereka. Seperti Baloyskie dan Luke yang ingin membangun rumah agar tempat tinggal mereka di masa depan nyaman dan damai.