Pergulatan Video Game Lampaui Kata 'Mainan' dan Bangkitkan 'eSports'

Billy Rifki
12/11/2017 14:38 WIB
Pergulatan Video Game Lampaui Kata 'Mainan' dan Bangkitkan 'eSports'

Pernahkah terbesit dalam pikiran pembaca bahwa sebuah video game akan menjadi hal besar, sesuatu yang dibicarakan oleh banyak orang dengan begitu serius? Sadarkah bahwa saat ini video game memiliki makna lebih luas dengan 'meminjam' istilah eSports? Yup, begitulah yang konon terjadi dewasa ini, dengan fenomenalnya eSports sebagai olahraga digital yang saat ini sedang panas-panasnya. Tapi, apakah kamu tahu betapa beratnya pergulatan video game itu sendiri, mulai dari hanya sekedar 'mainan', hingga kini game-game eSports menjelma dan berkembang seperti sekarang?

Ketika masih murni sebagai video game, eSports berperan semata-mata sebagai sarana hiburan untuk anak-anak dan remaja. Di awal tahun 1980, marak didirikan pusat-pusat bermain dengan ragam mesin Arcade yang konsepnya sama dengan rental PS di Indonesia. Era ini disebut juga sebagai masa keemasan Arcade Games, dimana Arcade atau Ding-dong sempat menjadi pilihan hiburan utama sebelum hadirnya konsol (dengan segala kecanggihannya) yang menggusur keberadaannya. Kepopuleran ding-dong, dan generasi penerusnya, kala itu memunculkan kekhawatiran di kalangan orang tua karena banyak anak-anak yang melewatkan sekolah untuk bermain game. Paradigma tersebut masih tertanam hingga kini sehingga tidak sedikit orang tua yang menilai skeptis terhadap potensi video game mampu menghasilkan uang apalagi sebagai mata pencaharian yang menjanjikan.

Jauh sebelum game seperti DotA, WoW, atau Starcraft jadi trending di kalangan gamer. Percik-percik eSports mulai muncul di awal tahun 80-an, salah satu stasiun TV di Amerika Serikat meluncurkan game show bernama 'Starcade' yang menghadirkan kontestan anak-anak untuk bertanding antara satu dengan lainnya melalui arcade video game. Acara ini mengudara cukup lama dan menyentuh angka 133 episode tayang. Starcade juga menginspirasi negara lain untuk membuat game show serupa seperti 'Video & Arcade Top 10' di Kanada, 'Game Masters' di Inggris, dan 'Amazing' di Australia. Beberapa game yang dipertandingkan antara lain Dragon’s Lair, Mario Kart, Pac-Man, dan Donkey Kong.

Jenis permainan di tahun 1980 - 1990, lebih menekankan kepada perolehan skor tertinggi disertai dengan level yang semakin sulit. Pemain memiliki kebanggan tersendiri bila berhasil mencetak skor tertinggi karena namanya akan terpampang di layar mesin arcade. Salah satu pemain legendaris game arcade, Billy Mitchell, yang bahkan masuk dalam Guinness Book of World Records di tahun 1985 dengan torehan skor tertinggi dalam 6 game arcade berbeda, yakni Pac-Man (3.333.360 poin), Ms. Pac-Man (703.560), Burger Time (7.881.051), Centipede (lebih dari 10 juta poin), Donkey Kong Jr. (1.270.900), dan Donkey Kong (1.062.800).

Namun banyak yang tidak sependapat bila video game di masa itu disebut sebagai eSports. Istilah eSports pun akhirnya untuk kali pertama mendapat pengakuan di tahun 1997. Manakala event Electronic Entertainment Expo di Goergia Dome, Atlanta, Georgia, menjadi saksi lahirnya gamer profesional pertama, Dennis 'Thresh' Fong, yang bermain dalam turnamen game Quake bertitel Red Annihilation. Dari hasil kemenangannya itu, Thresh berhak membawa pulang sebuah mobil Ferrari 328. Baru kemudian setelah nyaris dua dekade lamanya, player yang juga mendapat julukan sebagai Michael Jordan-nya video game ini, resmi masuk jajaran player top eSports 'Hall of Fame' di acara QuakeCon tahun 2016 silam, dimana prestasinya telah mengukir prestasi emas yang merintis kebangkitan eSports itu kedepannya.

Selepas itu, gaung eSports semakin terekspos oleh media. Bahkan beberapa rumah penyiaran mulai muncul dan mendirikan kanal yang hanya didedikasikan untuk konten eSports seperti MLG yang meliput turnamen Halo pada MLG Pro Circuit (oleh USA Network) pada tahun 2006. MLG Pro Circuit merupakan salah satu wadah liga eSport pertama dengan musim berjalan terlama di Amerika dan memiliki 9 juta pengguna yang tersebar di seluruh dunia.

Di tahun 2011, eSports makin booming berkat keberadaan TwitchTV, sebuah platform penyiaran yang dikhususkan untuk tayangan video game kompetitif. Secara cepat Twitch menjadi saluran stream yang paling populer dan banyak ditonton. Sebagai contoh, jumlah penonton League of Legends World Championships di tahun 2011 berkisar di angka 1,7 juta penonton dan membludak hingga 32 juta penonton di tahun 2013, berkat Twitch. Bandingkan dengan jumlah penonton yang hadir pada 3 turnamen di tiga cabang olahraga terbesar di Amerika yang berjalan di tahun yang sama, dengan momen ketika Faker membawa SKT T1 menjadi juara dunia untuk kedua kalinya di tahun 2015.

Game seperti DOTA 2, CS:GO, dan LOL semakin populer dan menyebar ke penjuru dunia layaknya kobaran api sekaligus menegaskan bahwa video game bukan lagi sekedar hiburan, namun menjelma jadi tren gaya hidup baru dengan mampu menarik viewers untuk menyaksikan langsung maupun secara online. Di ajang LoL World Championship 2013, tiket penonton yang memenuhi wahana Staples Center dengan kapasitas 21.000 penonton bisa habis terjual hanya dalam waktu 1 jam.

Semakin hingar-bingarnya pemberitaan eSports dari tahun ke tahun, mulai membuat orang-orang yang tadinya bersikap skeptikal terhadap eSports mulai sadar. Bagaimana bisa ragam video game bisa memberikan dampak ekonomi begitu besar, bukan hanya soal prize pool, tapi daya tarik investasi dari sponsor, marketing, dan lainnya. Majalah ekonomi terkemuka, Forbes, bahkan menyebut bahwa eSports adalah 'The Next Big Thing' untuk marketing.  Total hadiah yang makin tinggi, jumlah penonton plus tayangan stream yang disaksikan per harinya mampu menembus angka yang tidak pernah dibayangkan banyak orang sebelumnya. Efeknya, tim-tim olahraga dan atlet terkemuka dunia mulai lebarkan sayapnya ke ranah eSports, seperti Miami Heat, Schalke 04, Shaq O’Neal, dan Magic Johnson.

Lalu, apakah pemain profesional dari eSports merupakan seorang atlet yang sah? Rick Fox, salah satu pensiunan atlet NBA yang kini menaungi organisasi eSports, Echo Fox, mengatakan bahwa posisi atlet eSports sama dengan atlet profesional di cabang olahraga lain. Hal ini berdasarkan pengalamannya bahwa untuk menjadi atlet membutuhkan banyak persiapan, dedikasi, latihan, konsentrasi, stamina, dan mentalitas. Menyangkut edukasi, institusi yang mengkaji dan memberikan prasarana bagi anak didiknya untuk berkecimpung dalam dunia eSports juga semakin banyak. Termasuk pengakuan yang datang dari pemerintah Amerika Utara dengan dikeluarkannya Visa P-1A yang ditujukan bagi atlet-atlet eSports luar negeri untuk berkompetisi di wilayah Amerika.

Terbukti video game bukan lagi semata permainan atau telah melampaui terminologi kata 'mainan'. Video game kini berevolusi dan bahkan dengan kemasan 'eSports', dunia game bertransformasi menjadi industri hiburan, olahraga, sekaligus teknologi yang besar, mungkin terbesar saat ini. Bagaimana pendapat para fans eSports.id, masih ragu menjalani hobi menjanjikan ini? Apakah masih ada teman atau keluarga yang skeptis dengan dunia game yang kamu geluti? Coba ajak mereka membaca fakta-fakta di artikel ini ya! ^_^