Esports, kependekan dari electronic sports atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan olahraga elektronik adalah fenomena yang makin populer dalam 20 tahun terakhir. Bukan cuma populer untuk kalangan yang gemar bermain game namun juga menarik pemberitaan media-media besar untuk turut sumbang argumen tentang masa depan esports yang digadang-gadang sebagai jenis olahraga baru era millennials. Tapi masih ada pendapat miring yang menganggap esports tidak lebih dari sekedar game, hanyalah aktifitas hiburan belaka, bukan layaknya olahraga apalagi sebagai mata pencaharian pasti untuk dianggap serius.
Bisakah eSports sebagai game kompetitif memisahkan stigma sebagai bentuk aktifitas bermain game, sekaligus pengakuan wujud olahraga yang baru?
Esports dan video game berangkat dari hal yang sama yakni hiburan audio-visual dalam bentuk digital. Namun membedakannya cukup mudah untuk tahu jenis game apa yang bisa digolongkan sebagai eSports dan game mana yang masuk kriteria permainan berunsur hiburan kental. Diantara keduanya, perbedaan yang paling mencolok adalah durasi permainan. Game eSports cenderung merupakan sebuah cerita singkat yang dinaungi norma-norma aturan tertentu untuk menjadikannya begitu kompleks namun sederhana di saat bersamaan. Sementara video game ibarat novel panjang yang kaya dengan plot-plot baru sepanjang alur cerita.
Contohnya, dalam game Grand Theft Auto, karakter kamu harus menyelesaikan banyak misi dan menemukan banyak side-stories yang menambah intrik permainan tersebut. Objektif-nya pun terlalu banyak sehingga kamu bisa bermain tanpa aturan jelas bagaimana harus menyelesaikan game tersebut. Kebebasan tersebut menjadi daya tarik utama dalam franchise GTA, yang pada intinya akan bersifat menghibur bagi para playernya.
Sementara dalam DOTA 2, salah satu game eSports terpopuler di dunia, kamu hanya perlu menghancurkan objektif utama, sebuah struktur yang disebut ancient untuk bisa memenangkan pertandingan, namun dalam upaya mencapainya kamu akan bahu-membahu dengan 4 rekan lain untuk dihadapkan dengan lawan yang miliki tujuan sama. Keterbatasan inilah yang membuat game eSports menarik banyak minat gamer untuk menjajalnya, terutama sebagai wadah untuk unjuk skill melawan pemain lain.
Berdasarkan pengibaratan tersebut, game-game eSports adalah game yang mampu mengakomodir konsep permainannya yang relatif singkat dan hanya memiliki satu tujuan yang jelas. Keutamaan dari durasi yang pendek adalah terbukanya fitur multiplayer untuk dimainkan oleh lebih banyak orang secara bersamaan.
Meski begitu, durasi panjang bukanlah kelemahan dari video game berunsur hiburan, hanya saja fitur dalam game yang mengusung konsep permainan dengan cerita panjang membutuhkan investasi dan komitmen waktu, apalagi bila harus dimainkan bersamaan dengan puluhan orang lainnya. Hal ini menjadikan keduanya, esports dan video game, sebagai entitas BERBEDA yang dibuat menyesuaikan selera hiburan gamer NAMUN akan terus hadir berdampingan untuk kebutuhan para gamer.
Jenis game apa yang bisa digolongkan sebagai eSports? Untuk memahaminya, kita perlu mengenali dulu genre-genre eSports yang ada saat ini. MOBA, FPS, RTS, Fighting, Sports, dan Battle Royale adalah beberapa genre game yang saat ini merajai turnamen-turnamen eSports lokal maupun internasional. MOBA atau multiplayer online battle arena merupakan genre game dimana sekelompok player harus berhadapan dengan kelompok player lain dalam sebuah map / arena tertentu. Pemenang adalah kelompok yang mampu raih objektif utama lebih dulu. Game-game yang mengusung tema MOBA diantaranya DOTA 2, League of Legends, Smite, Heroes of Storm, dan banyak lagi dari kategori game PC maupun konsol. Bahkan kini saking populernya, genre MOBA merambah dunia mobile gaming dengan titel macam Arena of Valor, Vainglory, Mobile Legends, dan game mobile sejenis lainnya.
Namun dari semua genre di atas, terdapat satu kesamaan penting untuk memenuhi persyaratan menjadi hiburan yang fenomenal. Suatu game eSports ternyata wajib mengandung aturan yang ringkas dan mudah dipahami, termasuk didalamnya objektif utama dan gameplay yang konsisten.
Misalnya, keunikan genre MOBA adalah intensitas permainan tinggi, mengedepankan skill bermain seseorang serta ditunjang kordinasi tim namun hanya butuhkan waktu relatif sebentar. Dalam Mobile MOBA, keunggulannya tetap tersaji tapi bahkan miliki durasi yang lebih singkat sehingga banyak kalangan berbondong-bondong coba memainkannya karena hemat waktu. Wabah 'gamer' tanpa disadari makin meluas, bukan cuma mereka yang awalnya jarang bermain game, kini bahkan wanita dan kalangan dari berbagai jenjang usia tertarik memainkan game MOBA via ponsel pintar karena alasan keringkasannya.
Momen saat kamu membuka perangkat mobile phone milikmu untuk menjalankan aplikasi game, seketika menjadikan kamu seorang 'gamer'. Bukan hanya mereka yang seharian duduk di warnet atau depan PC dan konsol game di rumah, karena sosok gamer menjalar ke semua lapisan akibat fenomena mobile gaming. Menjadi gamer saat ini tidak lagi dilihat sebagai orang introvert atau aneh, namun faktanya game mampu menghubungkan orang dalam jarak yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kenapa sebuah game bisa disebut esports? Aspek dan klasifikasi seperti apa dari bermain game yang membuatnya layak disejajarkan sebagai cabang olahraga?
Mari kita kenali dulu kontradiksinya, dimana aktifitas bermain game dianggap tidak menunjukan kegiatan fisik intens layaknya olahragawan pada umumnya. Banyak orang sependapat dengan pernyataan di atas karena memang tidak membutuhkan banyak pergerakan fisik yang tinggi untuk menunjukan bahwa seorang gamer sedang melakukan olahraga. Namun tidak sedikit pula orang yang percaya bahwa gamer, atau atlet game profesional, tak ada bedanya seperti atlet olahraga lainnya. Pembelaan tersebut muncul dari kalangan atlet, mantan atlet, dan sejumlah pemilik tim cabang olahraga terkemuka di dunia.
Gordon Hayward, salah satu pebasket NBA yang bermain untuk Boston Celtics, yang juga bermain League of Legends mengemukakan bahwa atlet esports memiliki intensitas, determinasi dan program latihan layaknya olahragawan lain. Bila ada yang beranggapan olahraga harus selalu berkolerasi dengan bentuk tubuh ideal seperti atlet basket atau sepakbola yang kita kenal saat ini, maka hal itu bukanlah faktor esensial bagi atlet eSport. Karena pertandingan yang mereka jalani tidak membutuhkan badan tinggi-besar dan urat otot menonjol, namun lebih ke reflek cepat, kordinasi antara tangan dan mata, serta konsentrasi tinggi yang menjadi aset terpenting dari atlet-atlet eSports.
Tak mau ketinggalan, Rick Fox , tiga kali juara NBA sekaligus pemilik dari tim eSports Echo Fox berpendapat bahwa professional gamer adalah atlet olahraga yang sah. Rick Fox mengutarakan perjalanannya sebagai atlet bahwa ia membutuhkan konsentrasi, dedikasi, latihan, persiapan, stamina, dan itu semua juga dimiliki dalam gamer-gamer eSports. Oleh karena itu, dia pun menerapkan program yang sangat disiplin untuk anggota Echo Fox. Dirinya menerapkan pola makan yang benar, gaya hidup sehat para atlet bahkan mengatur latih tanding untuk membuka variasi strategi maupun taktik. Saat ini, Echo Fox memiliki ragam divisi meliputi League of Legends, CS:GO, Call of Duty, Street Fighter V, Injustice 2, H1Z1, Super Smash Bros, Vainglory, dan Tekken 7.
Meski begitu, masih ada nada skeptisme terhadap perkembangan eSports, yang uniknya bahkan datang dari Presiden ESPN, John Skipper. Dalam pernyataan kontroversialnya yang menyatakan bahwa 'esports bukanlah olahraga' sangatlah disayangkan bagaimana sebuah media besar yang didedikasikan khusus untuk pemberitaan seputar olahraga dan para atletnya yang notabene mewakili gairah kompetisi sama, sampai melewatkan nilai-nilai sportsmanship dalam eSports. Skipper hanya mengklasifikasi eSports sebagai wujud kompetisi namun bukan olahraga.
Apakah eSports butuh ekspos dari media-media seperti ESPN untuk bisa diakui sebagai suatu olahraga atau bahkan industri hiburan terbesar saat ini? Mungkin eSports akan lebih besar bila mampu ditayangkan melalui televisi, namun nyatanya sejak kelahirannya eSports sudah selangkah lebih maju dalam dunia broadcasting. Esports lahir dari platform streaming yang mana sangat relevan dan jauh lebih cepat menjangkau lebih banyak penonton berkat keberadaan internet.
Berkat streaming, konten eSports jauh mengungguli viewers dari event-event olahraga besar macam Major League Baseball, NBA Basketball Finals, dan BCS National Football Championship. Sontak ESPN, yang menyadari blundernya, perlahan mulai meliput event-event besar macam The International 4. Pada 15 Januari 2016, ESPN resmi merilis kanal khusus eSports mereka, ESPN Esports. Sepertinya ESPN lupa bahwa tujuan utama dari hadirnya olahraga-olahraga tradisional dan eSports tak lain dan tak bukan adalah untuk Entertainment, kata yang juga mereka pilih dalam awal inisial brand mereka, singkatan E dalam ESPN.
Event-event esports secara mencengangkan mampu gelontorkan hadiah milyaran dolar dan jutaan fans yang dengan antusias menanti tiap momen-momen kejayaan. Dari segi bisnis, ESPN tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Faktanya, industri Esports bahkan mampu ungguli industri film Box Office di Amerika serikat . Berdasarkan perhitungan Theatrical Market Statistic 2013, total pendapatan industri film dalam skala worldwide di tahun 2013 mencapai $35,9 milyar, sementara video game mampu meraup hingga $70,4 milyar di tahun yang sama, berdasarkan perhitungan dari Global Games Market Report.
Saat ini, mata dunia kian terbuka bahwa esports, atau bermain game secara profesional, bukan lagi omong kosong. Prestasi pasti akan terbayar dan hasrat apapun yang para gamer jalani bukanlah harapan kosong, jangan menyerah untuk meraih mimpi karena usaha kita akan dikenang abadi.
Upcoming Tournament | Lihat Semua > | |
---|---|---|
Belum ada event
|
Ongoing Tournament | Lihat Semua > | |
---|---|---|
Belum ada event
|
Video Pilihan | ||
---|---|---|
|