Tanpa Indera Penglihatan, Gamer Ini Pantang Menyerah Berkompetisi

Billy Rifki
27/12/2017 13:36 WIB
Tanpa Indera Penglihatan, Gamer Ini Pantang Menyerah Berkompetisi
google

Sejak kemunculannya, permainan video game mengedepankan lebih banyak perkembangan grafis untuk kenikmatan visual para gamer. Namun sayang, luput dari kita bahwa ada sosok-sosok gamer yang harus hidup menjalani gairah bermainnya tanpa keberadaan indera penglihatan. Sulit dibayangkan bukan bagaimana rasanya bermain game tanpa melihat, tapi itu semua bukan alasan bagi mereka untuk berhenti mengukir prestasi ketika segelintir gamer lebih banyak berkeluh kesah dengan kecukupan yang dipunyainya.

Salah satunya adalah Ben Breen, pemuda asal Inggris yang mengalami kebutaan karena terlahir prematur 4 bulan. Memiliki alias “Sightless Kombat”, ia sempat mengecap gelar “Killer” atau salah satu dari 32 pemain Killer Instinct terbaik di seluruh dunia. Killer Instinct adalah game fighting untuk konsol Xbox One besutan developer Iron Galaxy. Pertanyaan terbesar tentunya bagaimana bisa seorang dengan kondisi kebutaan seperti dirinya mampu memainkan video game, bahkan memiliki skill yang cukup disegani?

Ben selalu menjawabnya bahwa semua itu berhubungan dengan sistem audio dan indera pendengarannya. Dimana semua berawal dari zaman PS1 ketika dia rutin memainkan titel game macam Tekken 3, Street Fighter Ex Plus Alpha, dan Ready to Rumble Boxing. Saat itu, ia bermain dibantu oleh rekannya untuk menjelaskan secara visual apa yang terjadi, namun untuk beberapa bagian dalam game, ada hal-hal tertentu yang sulit untuk diinterpretasikan oleh rekannya.

Saat ini, Ben telah mendedikasikan banyak waktunya untuk mempelajari berbagai macam game dari varian platform seperti PS1, PS2, PS3, Xbox 360, Xbox One, Arcade, Wii, Game Boy Colour, dan Advanced. Genre game fighting game yang pernah ia tekuni antara lain Soulcalibur, Tekken, Mortal Kombal X, Street Fighter, Killer Instinct, serta kadang juga memainkan Rock Band dan Guitar Hero.

Agar dapat tetap bermain tanpa indera penglihatan, Ben harus memetakan mekanik permainan dari tiap game, melalui percobaan terus menerus ia akan mendapat informasi yang akurat tentang kegunaan tiap instruksi dari kontroler terhadap reaksi karakter di game.

Khusus terkait game Killer Instinct, dirinya sangat terbantu dengan keberadaan Youtube untuk mempelajari lebih detil mekanik permainannya kemudian membandingkan dengan jenis game lain seperti Mortal Kombat X. Ben menemukan bahwa suara yang dikeluarkan dalam game bergenre fighting tersebut memiliki karakteristik unik yang dapat membantunya untuk memahami pergerakan karakter.

Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Iron Galaxy, selaku developer game Killer Instinct, yang menyebutkan bahwa proses pengambilan suara untuk tiap-tiap karakter dibuat secara khas, melalui riset dan uji coba berbagai kelompok sehingga terciptalah karakteristik suara yang jelas dalam game Killer Instinct, dan sangat membantu bagi penderita kebutaan seperti Ben untuk memainkannya.

Ben tidak memerlukan banyak speaker atau volume tinggi untuk bisa mendengarkan detil audio dari game tertentu. Dia hanya menggunakan Stereo Headset dan mengaktifkan mode bass boost. Khusus untuk game Killer Instinct, ada pengaturan audio berupa HUD volume slider, yang menurut Ben fungsinya memberi petunjuk dalam bentuk suara yang sangat membantu untuk dimainkan tanpa penglihatan.

Ben berharap akan ada semakin banyak developer game yang peduli terhadap akses bermain bagi penderita kebutaan atau mereka yang memiliki kekurangan fisik lainnya.

Tak jauh berbeda dengan Ben, Sven van Wege atau lebih dikenal sebagai @BlindwarriorSven adalah gamer tunanetra asal Belanda. Dia mengalami kebutaan sejak umur 6 tahun ketika tumor di dahinya merusak saraf penglihatannya. Sven harus menderita dan dirawat untuk beberapa bulan ditambah dengan leukemia yang dideritanya.

Dalam beberapa fase hidupnya, Sven sempat merasa frustasi dengan keadaannya. Namun beruntung, sang pacar, Miriam, setia menemani dan memberi semangat kepada Sven. Miriam yang juga mengalami kebutaan memberikan satu buah game Street Fighter V, bulan Agustus tahun lalu. Meski Sven sempat enggan untuk mencoba namun Miriam terus memaksa agar Sven bisa menghilangkan rasa frustasinya.

Tak disangka Sven menemukan tujuan hidupnya ketika bermain game. Sven merasa game menjadi salah satu alasan ia ingin tetap hidup saat ini. Tidak seperti Ben yang buta sejak awal, Sven sebenarnya mampu melihat di waktu kecil, namun suatu ketika ia menyadari penglihatannya terenggut, dan ia harus menemukan pelampiasan dan menurutnya video game adalah wadah yang tepat.

Sven butuh waktu untuk beradaptasi ketika pertama kali mencoba bermain game fighting. Ketika merasa mendapatkan “pegangan” untuk memandu permainannya, ia mulai marathon bermain video game dari hanya beberapa jam per hari hingga keterusan selama berbulan-bulan. Dari sanalah cita-citanya mulai terbersit yakni ingin menghasilkan uang dengan bermain video game.

Dirinya telah mengikuti berbagai kejuaraan di negara-negara seperti Spanyol, Italia, dan Jerman. Bertanding dengan pemain-pemain profesional, Sven berhasil memenangkan beberapa pertandingan walau belum toreh prestasi emas. Namun bagi pemain dengan keterbatasan, kemampuan Sven sudah setara dengan pemain pro normal lainnya.

Keinginan terpendamnya adalah berkompetisi di EVO (Evolution Championship Series) 2017  di Las Vegas, sayang cita-citanya harus urung karena keterbatasan dana walau telah berinisiatif menghelat penggalangan dana. Dia berusaha membuka mata para developer game untuk melibatkan para penyandang kebutaan atau disabilitas lain untuk terlibat dalam pembuatan atau uji coba game agar lebih ramah bagi semua pihak.

Berbeda dengan Ben dan Sven, Terry Garrett alias MegaTgarrett adalah gamer buta yang berhasil menamatkan Legend of Zelda: Ocarina of Time. Game action adventure satu ini memiliki pendekatan berbeda dari dua game fighting yang menjadi favorit kedua gamer sebelumnya. Action adventure cenderung memiliki durasi lebih lama dan normalnya butuh kira-kira 40 jam untuk menyelesaikannya, sementara Terry perlu waktu sampai 5 tahun menamatkan game yang kompatibel di N64 Classic.

Terry, yang juga mahasiswa teknik di Universitas Colorado ini, memanfaatkan suara dari game untuk proses navigasinya selama mengendalikan karakter selagi disokong dua buah speaker yang terletak di hadapannya. Menggunakan versi emulator dari Ocarina of Time, Terry menggunakan kemudahan untuk save permainan selagi melaksanakan banyak percobaan dan kegagalan misi agar bisa menyelesaikan game tersebut.

Aksi yang paling memukau adalah ketika Terry berada dalam stage yang bernama “Water Temple”. Sebuah stage sulit dimana Terry harus berada dalam labirin ruangan yang dipenuhi dengan teka-teki sulit, bahkan untuk orang yang bisa melihat sekalipun.

Kisah para gamer dengan gangguan penglihatan di atas mengajarkan kita untuk pantang menyerah dan tidak banyak mengeluh dengan ketidakberuntungan yang mungkin kita alami. Kegigihan mereka menjadi gamer dengan meruntuhkan segala penghalang telah membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bila kita mau berusaha.