Mantan Atlet Lompat Tinggi Ini Menolak eSports Masuk Olimpiade

Billy Rifki
31/07/2018 13:15 WIB
Mantan Atlet Lompat Tinggi Ini Menolak eSports Masuk Olimpiade
thespinoff.co

Gaung eSports saat ini sudah tak bisa diredam, angka penonton dan peminat muda yang masif serta keuntungan bisnisnya mulai menyamai bahkan menggeser industri hiburan film maupun musik, sehingga memperkokoh eksistensi eSports di mata dunia. Pada akhir tahun diprediksi industri ini akan bernilai satu milyar dolar AS.

Namun, masih terjadi perdebatan tentang apakah eSports termasuk dalam sports (olahraga) sesungguhnya, atau hanya level hiburan tingkat lanjut? Untuk menguntai pergunjingan tersebut, cukup krusial bagi komunitas eSports di dalammya terlibat dalam hajatan olahraga berskala dunia seperti Olimpiade.

Salah satu alasan yang membuat pihak komite tertarik untuk merangkul eSports adalah keuntungan bisnis. Pihak komite olimpiade, menghasilkan pendapatan event sebagian besar berasal dari hak siar dan sponsorship, sejalan dengan eSports yang juga menciptakan keuntungan dari platform yang sama.

Pihak komite olimpiade internasional (IOC) cukup terbuka membuka peluang eSports jadi bagian dari Olimpiade, namun nyatanya, tetap ada penolakan soal ini yang datang dari mantan atlet Olimpiade lompat tinggi yang sekarang menjadi asisten professor di RTA School of Media, Fakultas Komunikasi & Desain, Toroto, Kanada, Dr. Nicole Forrester.

Alasan utama Dr. Nicole adalah soal aktivitas fisik yang dinilainya masih kurang terpenuhi. Nicole tidak sendiri soal ini, atlet lain dari cabang BMX, Sarah Walker mengatakan dalam interviewnya dengan Inside The Games, "Bila aku ingin berlatih cabang-cabang olahraga yang ada di Olimpiade, bila aku ingin mencoba, aku harus keluar rumah dan berlatih. Aku harus aktif. Sedangkan bermain game, bila aku terinspirasi untuk jadi gamer profesional, langkah pertamaku adalah pulang ke rumah dan duduk di sofa."

Meski begitu, para atlet Olimpiade yang tidak setuju tersebut menyadari bahwa pemain eSports juga menjalani aktivitas latihan, sampai merekrut ahli gizi dan psikologis olahraga untuk meningkatkan ketangkasan namun rasanya itu tidak cukup.

Menilik dari definisi fundamental tentang sports atau olahraga, setidaknya olahraga melibatkan aktivitas fisik dari tubuh, punya unsur kompetisi, dan memiliki institusi sebagai wadah organisasi, dalam artian lembaga terpercaya untuk mengatur kebijakan dan sebagainya. Meski eSports di seluruh dunia saat ini bisa memenuhi dua kriteria, setidaknya segi kompetisi dan institusi, namun, Dr. Nicole melihat unsur fisikalitas dari eSports tak memenuhi syarat.

Faktor lain yang jadi alasan penolakan eSports dalam Olimpiade adalah mayoritas atlet profesional eSports adalah lelaki, setidaknya mereka yang punya kesempatan tampil di panggung paling megah. Demi menjunjung tinggi kesetaraan dalam berolahraga, eSports harus memberi ruang bagi perempuan dan memperbaiki interaksi antara pria dan wanita gamer yang cenderung kurang sehat.

Diketahui bahwa budaya video game cenderung berlaku tidak sopan kepada pemain wanita baik dalam lingkup personal sampai profesional. Video pelecehan di bawah ini menjadi salah satu contohnya. Sepanjang 13 menit, Miranda Pakozdi, pemain game fighting Cross Assault menjadi bahan pelecehan dan "terpaksa" menerima candaan tersebut.

 

Apakah sobat eSports memahami dan sepakat dengan pernyataan Dr. Nicole Foresster?