Kontroversi Kontrak Esports dan Solusi Pakar Hukum Amerika

Billy Rifki
19/06/2019 16:03 WIB
Kontroversi Kontrak Esports dan Solusi Pakar Hukum Amerika
The Washington Post

Sebagai sebuah industri, esports masih menyimpan area abu-abu terutama isu pendapatan dan legalitas. Masalah kontrak kerja kerap jadi kontroversi yang merugikan pemain dan tim secara materil maupun moril.

Kadang, pemain yang baru naik daun terjebak oleh kontrak bodong sehingga memudarkan masa depan gemilang mereka. Adapun tim merasa tersudutkan setiap pemain hengkang seakan merekalah pemeran antagonis di tiap perpisahan.

Kenyataannya, klausul kontrak di esports memang belum menemukan landasan yang sahih. Banyak tim yang memikat investasi sponsor dan meningkatkan nilai jual mereka, namun pendapatannya tak selaras dengan pertumbuhan tersebut. Berbeda dengan individu yang terkadang lebih cepat meroket dari endorsement dan keuntungan sebagai atlet profesional merangkap streamer.

Hal ini menimbulkan kecemburuan yang tak sehat bagi organisasi esports. Sehingga mereka kerap membuat kontrak baru yang banyak membatasi keuntungan sang atlet. Hal ini diamini oleh pakar hukum asal Amerika Serikat yang banyak menangani kasus penyelewengan kontrak di industri video game.

Ryan Morrison adalah salah CEO dari Evolved Talent Agency dan dijuluki sebagai "pengacara video game" bagi mereka yang mengenalnya di industri gim. Pakar lainnya adalah Bryce Blum, founding partner dari ESG Law. Dia kerap mewakili klien yang berasal dari organisasi esports, atlet, dan institusi. Tak jarang juga pengalamannya dipercaya sebagai konsultan bagi para penggiat industri ini bergerak sesuai kaidah hukum yang berlaku.

Dilansir dari Washington Post, keduanya beradu argumen via Twitter mengenai kontrak esports, terutama yang ramai dibicarakan beberapa waktu lalu ketika Tfue melayangkan gugatan pada FaZe Clan terkait kontrak yang opresif.

Terlepas dari pengalaman keduanya berkecimpung di hukum esports, keduanya sepakat bahwa kontrak esports cukup rumit. Terutama menyelesaikan kasus yang sudah terlanjur terjadi seperti Tfue dan FaZe Clan. Untuk itu disarankan setiap individu yang mendapat tawaran kerjasama, selalu meminta pendampingan hukum saat perjanjian agar tidak dirugikan di masa depan.

Mengenai kapasitas tim mengatur keuntungan dari sponsor untuk pemain? Keduanya sepaham bahwa harus ada pembedaan. Apakah ketertarikan sponsor itu untuk individu atau tim? Bila sponsor punya minat kerjasama terhadap perorangan, baik pemilik ataupun organisasi secara keseluruhan tidak berhak mengatasnamakan diri mewakili sang pemain.

Seperti yang terjadi di olahraga tradisional ketika klub olahraga punya keterikatan dengan brand tertentu namun salah satu pemainnya jadi duta dari brand lain.

Berbeda dengan yang terjadi sekarang ini, pemain kerap menyerahkan segala urusan kontrak termasuk kerjasama sponsorship kepada tim. Akibatnya, pemain tak tahu seberapa besar benefit yang harusnya ia peroleh. Meski begitu, organisasi esports punya hak sebagai penaung dari pemain tersebut menegosiasikan keuntungan. Bisa jadi mengkompensasi pendapatan sponsor dengan peningkatan kesejahteraan yang disetujui kedua belah pihak.

Lalu bagaimana organisasi esports bisa meningkatkan pendapatannya selaras dengan popularitas atlet esports yang terus menanjak?

Berbeda dengan olahraga tradisional yang memiliki pemasukan dari penjualan tiket dan keuntungan siaran. Esports mengedepankan prinsip online sehingga media deal maupun keuntungan yang didapat hasil aktivitas stream bisa jadi substitusi penjualan tiket atau semacamnya.

Adalah hal lumrah bagi atlet melakukan streaming dan mendapatkan banyak keuntungan dari sana. Kedua pakar ini yakin pemain bersedia membagi jatah keuntungan stream dan endorse mereka asalkan kecukupan yang mereka dapat meningkat, walau berujung pada pelonjakan nilai gaji yang begitu tinggi. Namun keran keuntungan tim bertambah lebih konsisten sehingga mampu menutupi biaya hidup dasar atlet maupun perbaikan infrastuktur.

Menurut kedua ahli hukum di atas, evaluasi pembagian keuntungan ini tetap harus dinilai terus dalam jangka waktu pendek. Bila terikat kontrak panjang, dikhawatirkan pemain mengalami inkonsistensi performa atau kehilangan kenyamanan bermain yang ujungnya merugikan tim itu sendiri. Adalah hal utama bagi organisasi esports menemukan cara berbisnis yang baik tanpa mengeksploitasi atlet secara berlebihan dan memahami keinginan pribadi atletnya.

Ryan mengakui atlet esports yang mempunyai cukup popularitas bisa menghasilkan banyak keuntungan seorang diri, namun hanya mereka yang benar-benar terkenal. Bekerja dalam naungan tim mempermudah akses kepada sponsor dan potensi uang lainnya.

Hal terpenting yang digarisbawahi kedua pakar ini adalah selesaikan semua masalah pada saat kontrak dirundingkan. Jangan sampai ada kalimat yang berpotensi jadi sumber masalah di kemudian hari. Persoalan kerahasiaan pun tak selalu wajib bagi tim maupun pemain, bila keduanya puas dengan nilai kontrak yang disepakati, komunitas akan mengapresiasi transparansi yang ditunjukkan oleh keduanya.

Semoga ke depannya para atlet dan calon penggiat esports dari Indonesia semakin berani dan terbuka untuk menggunakan jasa pendampingan hukum agar mata pencaharian mereka lebih jelas dan pasti, serta tentunya menghadirkan solusi hukum yang memuaskan.