Dead Game di Mata Yota, Andrew, Tommy & Ravalda

Billy Rifki
16/06/2020 15:08 WIB
Dead Game di Mata Yota, Andrew, Tommy & Ravalda
Esports.ID Interview

Isitlah "Dead Game" belakangan mencuat di komunitas terkait beberapa permainan esports yang popularitasnya menurun. Entah karena ditinggal oleh pemainnya atau muncul pesaing baru yang menawarkan sensasi hiburan lebih baik.

Beberapa game seperti DOTA 2, League of Legends, CS:GO dan Arena of Valor pernah meledak di Indonesia. Beberapa tim nasional di empat ranah game tersebut pernah menorehkan prestasi mengagumkan di masa jayanya.

Namun, makin hari popularitas mereka menurun dan kebiasaan gamer berubah seiring dengan tren gamer tanah air cenderung bermain di perangkat mobile. Untuk mengkaji persoalan dead game lebih jauh, Esports.ID berdiskusi dengan empat narasumber kompeten yang masih bertahan dengan titel game esports kecintaannya.



Bersama Yota, Andrew Tobias, Om Tommy dari Indoesports dan caster cantik Tiara Ravalda dalam rubrik Dilema Esports, kita berbincang perihal label dead game dan apa sebab utama titel sebesar DOTA 2, CS:GO, LOL dan Arena of Valor tak lagi menarik di mata gamer.

- Apa tanggapan kalian dengan keempat game tersebut (CS:GO, DOTA 2, LOL & AOV) yang kini meredup dan sering di bilang dead game?

Tommy : Ya di bilang meredup iya redup, jujur aja, tapi komunitasnya masih kuat. Bahkan di Faceit masih rame, kadang nemu orang Indonesia satu atau dua, intinya masih ada orang yang main gamenya. Tapi kalau faktor meredup itu karena tren sih menurut gua.

Sekarang CS:GO bisa di bilang game mahal, walau gamenya gratis. Tapi main game ini butuh perangkat high-end. Cuma, kabar baiknya perangkat yang dulu mahal sekarang murah.

- Yota punya riwayat panjang mengembangkan esports di Indonesia, kebetulan, semua game yang Yota geluti kini sudah meredup. Apakah faktor menurunnya popularitas tersebut karena sosok Yota?

Yota : Wah gara-gara gue ternyata gamenya jadi meredup haha... Tapi kita ngomong serius sekarang, Indonesia itu marketnya unik. Secara demografis, kalau kita bandingkan dengan tetangga di Asia Tenggara, kita punya market berbeda misalnya dalam spending uang, prioritas hidup mereka seperti apa, sifat mereka seperti apa, itu juga mempengaruhi game rilis di Indonesia dan di luar timpang berbeda.

Contohnya di League of Legends, di Indonesia kalah pamor sama DOTA 2 bahkan Arena of Valor. Tapi di International itu jauh berbeda. Ada banyak faktor sebenarnya yang membuat suatu game meredup, salah satunya demografis di Indonesia, tren masyarakat yang dipengaruhi timing perilisan game dan maintaining dari publisher, developer dan komunitasnya.

- Apa Ravalda setuju dengan pendapat Yota dan Tommy sebelumnya? Apakah AoV mengalami hal yang sama?

Ravalda : Kalau menurut aku, ngga terlalu relate di Arena of Valor. Menurutku soal stigma AoV sepi atau tidak lebih karena faktor skeptis dari orang-orang aja. Karena sampai sekarang ketika gue main AoV ngga pernah merasa sepi, gue ga pernah merasa queue matchnya lama, gue ga pernah ngerasa ga punya temen mabar atau gue juga ngga pernah merasa ngga ada turnamen atau komunitasnya ngga rame.

Aku bisa bilang kalau AoV bukan sepi tapi karena orang-orang cuma bilang tanpa pernah mainin gamenya. Bahkan faktanya, AoV satu-satunya saingan Mobile Legends yang masih bisa keras-kerasan saat ini. Mungkin iya AoV mengalami penurunan pemain tapi bukan karena pemainnya pindah ke ML. Salah satu faktornya mungkin dari AoV sendiri yang awal rilisnya berat banget. Dulu handphoneku cuma bisa 30 fps karena berat banget, tapi sekarang dengan HP yang sama aku sudah bisa rata kanan dan 60 fps. Tapi itu butuh waktu setahunan buat AoV. Jadi menurutku itu sebab utamanya penurunan jumlah pemain AoV dan mereka ngga tahu kalau sekarang AoV sudah ringan.

- Bagaimana pandangan Ko Andrew sebagai tokoh esports yang juga menjabat sebagai owner tim esports menilai titel-titel game yang redup?

Andrew : Kalau soal persepsi orang tentang game itu sepi atau turun, itu hanya persepsi. Kalau kita ngomong user basenya, sudah pasti turun termasuk interaksinya seperti game economics dan tradingnya. Tapi kalau kita lihat lagi dari euforianya, misalnya kaya DOTA 2, ada The International, ini momen yang membangun kembali komunitas dan popularitasnya.

Kedua, mobile games larinya ke Indonesia duluan untuk pasar Southeast Asia karena angka gamernya besar dan revenuenya menyumbang banyak banget. Ini beda cara pendekatan aja, kalau di Indoensia, jangan pernah pakai pendekatan duit dulu, orang bakal memunculkan sentimen negatif kalau pendekatannya seperti itu.

Lantas, Apakah ada cara membangkitkan kembali popularitas game tersebut? Apakah masih menjanjikan untuk mengejar karir profesional sebagai pemain DOTA 2, CS:GO, LOL atau AoV?

Pertanyaan tersebut bakal terjawab Dilema Esports di kanal YouTube Esports.ID, jadi jangan lupa tonton yah Sobat Esports!