Esports vs Pro Sports: Cerita Owner J.Storm, Jeremy Lin

Rendy Lim
02/11/2018 14:44 WIB
Esports vs Pro Sports: Cerita Owner J.Storm, Jeremy Lin
Jeremy Lin

Jeremy Lin mungkin nama yang sudah tidak asing lagi bagi mereka penikmat scene DOTA 2. Meski merupakan pemain basket professional, dirinya ternyata kerap pula bermain DOTA 2 dengan adiknya. Hingga akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi panggung profesional DOTA 2 bersama Vici Gaming. Dia pun kemudian tertarik untuk membuat tim sendiri, sampai terbentuknya VGJ.Storm.

Melalui website Quartz, Jeremy Lin menceritakan kisah serta pandangannya tentang industri eSports yang sering kali dibanding-bandingkan dengan dunia pro olahraga konvensional. Penasaran? Yuk, mari kita simak bersama kisahnya!

Pandangan umumnya sebagai sosok yang berkecimpung dalam dua bidang tersebut, Jeremy Lin menuturkan bahwa tidak lama lagi gamer profesional bakal 'bertanding' dengan atlet pro lainnya, tidak hanya secara virtual atau IRL stadium sebagai panggungnya, namun juga dalam segi bisnis serta hiburan. 

Pada tahun 2004, saat Jeremy masih mengenyam bangku sekolah, dia sering melihat adiknya bermain Defense of the Ancients (DotA). Awalnya dia hanya menertawakan sang adik, namun setelah beberapa minggu banyak rekomendasi untuk memainkan game tersebut. Dia pun kemudian mencoba bermain DOTA 2 beberapa kali dalam seminggu, baik di rumah, dalam perjalanan, bahkan hotel, terutama setelah game yang berat di lapangan. 

Dunia game secara global sudah meningkat pesat dari saat itu, seakan memiliki kehidupan sendiri. Venue pertandingan dipenuhi para fans yang bersemangat mendukung tim favorit mereka. Banyak player datang dari beragam penjuru dunia untuk berkompetisi, dan bentuk dukungan sponsor yang membangun bisnis dari mereka.

Perbandingan awalnya, Fortnite berani sediakan prize pool hingga 100 juta USD untuk season 2018-2019. Sementara di NBA, rata-rata player dapat menghasilkan 7,4 juta USD setahun, dan hanya 15 pemain yang bisa berpenghasilan lebih dari 25 juta USD satu musim. Jika dibandingkan dengan prize pool DOTA 2 TI tahun ini, yang melebihi angka 25 juta USD, nominal hadiah eSports masih sangat besar. 

Pembatas untuk masuk ke dalam dunia eSports juga lebih 'tipis' dibanding dengan pro sports. Kamu tidak perlu batasan-batasan seperti yang ditemui para pemain basket pada umumnya, mulai dari mencari sembilan orang yang memiliki skill sama denganmu hingga menunggu matahari terbit untuk bermain, dan berhenti ketika tenggelam. 

Esports bisa dinikmati oleh semua orang. Hal yang kamu perlukan hanyalah koneksi internet yang bagus agar bisa bermain. Mobile gaming, juga telah mengubah bagaimana kemudahan akses dalam bermain game. Kamu tidak lagi perlu membeli konsol yang mahal, namun beberapa game-game populer sudah tersedia di dalam ponselmu. 

Karena eSports saat ini bersifat global, kamu akan dengan mudah menemukan beragam jenis orang-orang dari budaya dan negara lain. Ini dapat membantumu untuk berinteraksi dengan orang-orang lain. Turnamen game membawa orang-orang dari seluruh dunia bersatu, di mana professional sports hanya melakukannya saat Olimpiade atau Kejuaraan Dunia. 

Esports vs Pro Sports

Perkembangan eSports saat ini sangatlah cepat, tidak hanya dalam segi bisnis, namun juga perkembangan sosialnya. Mulai dari hal simpel seperti bermain dengan teman yang jaraknya jauh, ataupun bersama orang yang tidak kamu kenal. Saat ini, kamu bisa pula menonton orang lain bermain game. Berbanding jauh dengan stadium yang hanya menjual 15.000 kursi penonton, lebih dari setengah juta orang bisa menonton bersama sebuah pertandingan eSports. 

Bergabung bersama  Vici Gaming pada tahun 2016 membuat Jeremy Lin belajar banyak tentang bagaimana mengurus tim eSports dan mendorongnya untuk membentuk tim eSports binaannya sendiri, yakni J.Storm. Tim yang berhasil berpartisipasi dalam TI 2018 dan mendapatkan peringkat 7, serta memenangkan 630.000 USD. Prestasi yang tidak terkira dapat dicapai di tahun pertama. 

Saat ini, J.Storm memiliki pemain Fortnite dan para staf yang membantu seluruh anggota tim. Terlibat setiap hari dalam tim eSports memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan para atlet eSports, sebagai bagian dari bisnis serta budaya yang hadir di sekitarnya. 

Atlet professional dan professional gamer memiliki banyak kesamaan yang tidak diketahui banyak orang. Skala kompetitif, pemecahan masalah, rasa percaya diri, kesemuanya masuk dalam komponen mental mereka, yang berperan besar baik dalam game dan olahraga tradisional. Dalam level kompetitif, banyak pemain yang memiliki skill dan kemampuan berimbang, namun yang membedakan mereka dari kompetisi adalah kekuatan mentalnya. 


Karena mereka harus kuat juga secara fisik, maka Jeremy menyediakan trainer untuk melatih atletnya. Hal seperti kordinasi tangan dan mata sangat penting dalam eSports dan banyak dari mereka yang tidak memiliki hal tersebut. Unsur bakal memang menciptakan anak-anak ajaib, seperti halnya di olahraga profesional, yang tidak bisa kamu peroleh dari latihan sekeras apapun. 

Pemain eSports sudah diperlakukan layaknya selebriti sama seperti atlet pro lainnya. Ketika mereka datang untuk berkompetisi, fans-fans yang berkumpul di arena akan bersorak meneriakkan nama mereka. Rasa antusias tersebut tetap melekat meskipun saat menonton di stadium secara langsung atau live streaming. 

Mendobrak Stereotip eSports

Esports bisa saja diterima oleh masyarakat luas layaknya olahraga tradisional lainnya, namun tetap memerlukan waktu. Hal yang paling sulit mungkin adalah mengubah persepsi masyarakat. Mereka memiliki anggapan negatif tentang sosok gamer bagaikan orang yang tinggal di basement orang tua mereka dan tidak melakukan apa-apa. 

Jeremy mengakui juga mengalami hal serupa ketika mengejar mimpinya menjadi seorang pemain basket profesional basket. Sebagai keturunan Asian-America, banyak orang yang berasumsi kalau dirinya tidak akan pernah cukup bagus untuk mencapainya. Tidak banyak orang Asia yang bermain di NBA, bahkan ketika dia bermain di kampus, banyak yang melempar candaan rasis kepadanya ataupun tidak menganggap serius permainannya. 

Setelah lulus dari Harvard, Jeremy tidak langsung bekerja namun tetap fokus pada mimpinya di NBA, karena dia sadar akan kecewa kalau tidak menjalani kesempatan ini. Meskipun Warriors akhirnya memasukkannya ke tim, namun puncak keemasannya hadir di tahun 2012, ketika dirinya bermain untuk New York Knicks. 

Mereka yang ingin menjadi pro gamer juga mengalami hal serupa. Mulai dari orang-orang yang menyuruh berhenti karena melihatnya kurang menjanjikan. Namun Jeremy bersyukur karena memiliki dukungan yang membuatnyat tidak menyerah. Ketika orang-orang menyuruhnya untuk berhenti, Ibu Jeremy mengatakan dia harus mencobanya. Sayangnya memang saat ini banyak gamer tidak memperoleh dukungan seperti itu. 

Ketika kamu pantas, sukses akan menghampirimu, jalan tersebut akan ditunjukkan kepadamu. Jeremy selalu berpegang pada hal tersebut dan bahkan ketika dikelilingi oleh rasa tidak percaya diri dan ketakutan, dia akan selalu tenang dan berpikir positif. Hal paling utama adalah memiliki orang-orang yang percaya kepadamu. 

Selalu akan ada orang iri dan yang meragukan kemampuanmu. Namun saat ini ketika banyak orang mulai membicarakan tentang eSports, semua hal tersebut menjadi kian lumrah. Selalu ada peran perintis yang harus rela disebut 'gila', namun hingga titik tertentu akan ada sesuatu yang baru dan masyarakat tidak punya pilihan lagi selain untuk beradaptasi. 

Masa depan dari Industri Gaming

Sekarang kita telah melihat bagaimana scene gaming mulai mainstream. Bahkan hampir cabang olahraga konvensional yang populer pun mulai menyentuh scene eSports, termasuk NBA yang miliki liga eSports-nya sendiri. Dari segi bisnis, brand sebesar Nike saja sudah melirik talenta eSports untuk mempromosikan produk mereka, yakni melalui figur atlet LoL, Jian “Uzi” Zihao, yang bakal tandem dengan LeBron James di campaign terbaru mereka.

Platform streaming game seperti Twitch mampu mengumpulkan para penonton dari seluruh dunia untuk menyaksikan orang-orang bermain game yang jumlahnya terus meningkat. Mungkin ketimbang membuat eSports hadir di ESPN dan stasiun televisi lainnya, mungkin olahraga tradisional harus belajar dari eSports dalam segi broadcast. 

Sayangnya, industri eSports yang besar ini masih sangat rawan karena setiap game memiliki fondasi yang berbeda-beda, yakni developernya. Selain masalah tersebut, kontrak pemain masih menjadi masalah yang cukup sering ditemukan saat ini. Jika kita bisa membuat pengalaman eSports yang lebih baik bagi para player, penonton, dan developer, maka pastinya potensi industri ini bakal sangat besar. 

Bagi Jeremy, ini lebih dari sebuah game untuknya. Ketika banyak hal terjadi dan hidup terasa berat, game adalah salah satu cara baginya untuk bertahan. Saat dia harus mengakhiri musim kompetisinya karena cedera lutut tahun lalu, malam pertama dia pulang ke rumah dengan balutan perban dan kondisi depresi, keluarga terdekat mereka telah menanti dan siap menemani dirinya untuk bermain game bareng. 

Upcoming Tournament Lihat Semua >
Belum ada event
Ongoing Tournament Lihat Semua >
Belum ada event
Video Pilihan
Solo MMR
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
Team MMR
1 Team Falcons 1650
2 BetBoom Team 1556
3 Xtreme Gaming 1543
4 Tundra Esports 1539
5 Team Liquid 1522
6 CyberBonch-1 1520
7 Azure Ray 1465
8 OG 1455
9 Gaimin Gladiators 1453
10 VGJ Storm 1450