Esports

Mau Jadi Gamer Pro? Kenali Resiko Jadi Atlet Esports

Billy Rifki
15/11/2018 15:09 WIB
Mau Jadi Gamer Pro? Kenali Resiko Jadi Atlet Esports
Esports.ID

Marak pemberitaan terkait beberapa atlet esports yang berpenghasilan hingga milyaran rupiah dan dapat pemasukan hanya dari bermain game. Sehingga memunculkan anggapan bahwa gamer pro adalah kehidupan impian, setidaknya demikian pikiran orang yang berpandangan sederhana tentang sosok atlet esports.

Sebenarnya, memang ada beberapa atlet esports yang hidup lebih dari cukup bahkan penghasilannya sangat menggiurkan misalnya sosok Justin Tobias atau Jess No Limit, bintang Mobile Legends dari tim EVOS Esports.

Banyak anak muda yang kemudian ingin menjadi seperti Jess karena melihat "enaknya" saja. Tapi apa kamu tahu resiko menjadi atlet esports? Kalau belum tahu, cermati pembahasan artikel ini agar wawasanmu lebih terbuka untuk mengetahui serta menimbang hambatan apa saja yang akan kamu temui dalam proses menjadi atlel profesional.

1. Berkarir di Esports Sangat Menuntut

Tidak banyak orang yang lahir dengan bakat menjadi seorang atlet esports, karena semua terletak pada kerja keras menjadi yang terbaik. Banyak orang yang sejak kecil bermain game namun tidak semua bisa jadikan kegemaran mereka sebagai profesi.

Layaknya atlet olahraga konvensional, keberhasilan terletak pada prestasi. Semakin sering merebut posisi puncak maka reputasimu pun meningkat sehingga namamu sebagai atlet esports lebih diperhitungkan. Begitu juga sebaliknya, bila kamu lebih sering kalah maka kemampuanmu kian terlupakan.

Anggaplah atlet esports itu sama seperti tim sepakbola profesional yang tergabung dalam liga. Bila menang maka dirinya bisa mendapatkan hadiah dan kesempatan mengikuti turnamen yang lebih besar. Namun jika kalah, timnya akan turun kasta dan tergantikan oleh tim baru yang lebih baik performanya.

Jadi untuk bisa berhasil seperti Jess, atau sukses berkarir sebagai atlet esports, kamu harus menang!

Bagaimana caranya menang? Berlatih. Bukan hanya latihan hari Sabtu dan Minggu, tapi setiap hari, 8 sampai 12 jam per hari bila mengikuti rata-rata atlet esports internasional. Bahkan tim DOTA 2 di Cina membatasi komunikasi dengan orang lain selama berada di boot camp atau pemusatan latihan bila tengah berpartisipasi dalam turnamen tertentu.

Berlebihan? Tidak, bila kamu memang ingin fokus dalam pertandingan nantinya. Pada hakekatnya, esports mengutamakan daya fokus, konsentrasi, serta kemampuan berpikir dibandingkan otot. Sehingga cara apapun untuk meningkatkan fokus pemain harus dilakukan termasuk meminimalisir gangguan eksternal selama proses berlatih.

2. Berkarir di Esports Belum Tentu Kaya

Meskipun ada contoh nyata bahwa berkarir sebagai gamer profesional bisa menghasilkan uang yang banyak, namun tidak serta-merta seorang profesional bisa memiliki stablitas karir. Kamu tidak bisa hanya andalkan kemenangan dari turnamen ke turnamen, karena akan ada masa saat kamu gagal menjadi juara.

Beruntungnya, organisasi esports di dunia, khususnya yang bereputasi besar sudah menyajikan beragam fasilitas mendasar bagi para atletnya, seperti gaji pokok, tunjangan kesehatan, dan beberapa benefit lain.

Namun, itu saja tentu kurang, mengingat pemasukan menjadi gamer di Indonesia tidaklah segemerlap atlet di luar negeri. Bila merujuk pada angka, rata-rata gamer profesional di Amerika Utara, contohnya gamer League of Legends, mengantongi gaji sebesar $75.000 per tahun, atau 1,1 milyar rupiah per tahun. Bila dihitung pendapatannya tiap bulan, maka pemain LOL di sana mendapatkan gaji sebesar 90 juta Rupiah per bulan. 

Angka segitu belum bisa diterapkan untuk atlet profesional Indonesia, mungkin hanya hitungan jari saja dan khusus pemain-pemain yang sudah go international. Oleh karena itu, banyak juga gamer pro yang menambah penghasilan mereka melalui konten streaming, endorsement, dan lain-lain. Namun kembali lagi, semua masih mungkin bila kamu memiliki prestasi sebagai modal jual bahwa permainanmu layak untuk 'dikonsumsi'.

3. Berkarir di Esports Relatif Jangka Pendek

Banyak yang kaget ketika ada pemberitaan mengenai anak berumur belasan tahun sudah berhasil mendulang penghasilan lewat bermain game. Mereka membayangkan dengan umurnya yang belum masuk usia produktif kerja, pasti bisa lebih banyak uang yang akan dia dapatkan.

Mungkin benar, namun berkarir di esports tidak seperti kerja pada umumnya. Berbeda dengan kemampuan fisik para atlet olahraga di sepakbola, basket, bahkan tinju yang masih bisa berprestasi di umur 30 tahunan berkat konsisten menjaga kondisinya yang prima, maka kemampuan berpikir cenderung menurun semakin bertambahnya usia. Berdasarkan studi, jangka waktu profesi esports seseorang hanya berkisar dari 17 sampai 25 tahun.

Artinya hanya ada 8 tahun bagi pemain untuk berkompetisi sebaik-baiknya sebelum tubuh dan pikiran terdegradasi kemampuannya. Periode sesempit itu sangat timpang bila dibandingkan atlet sepakbola yang bisa meniti karir hingga 20 tahun lamanya.

Bukan cuma kemampuan pikiran saja yang tergerus, tapi cidera juga membayangi atlet esports. Kelihatannya tak banyak pergerakan yang dilakukan oleh gamer selain duduk. Namun bila kamu memperhatikan seksama, tangan, pinggul, tulang belakang, dan leher serta kepala bekerja sangat intens dalam pergerakan terbatas. Beberapa cidera yang menghantui atlet esports di antaranya carpal tunnel syndrome, tennis elbow, trigger finger bahkan kegagalan pernapasan.

Semua faktor resiko yang dsebutkan di atas menjadi penguat bahwa berkarir dalam dunia esports, khususnya bagi yang ingin menggelutinya sebagai atlet, sangat butuh sikap disiplin dan komitmen tinggi. Menjadi gamer terbaik bukan sekedar bicara skill, tapi kerja keras, dedikasi, dan pengorbanan.

Masih berani jadi atlet esports?