Esports Dunia Kampus: Berprestasi Tanpa Sampingkan Edukasi

Mushab Hassan
20/11/2020 10:50 WIB
Esports Dunia Kampus: Berprestasi Tanpa Sampingkan Edukasi
sumber: Website resmi IEL

Mahasiswa merupakan predikat yang spesial. Bagaimana tidak? Dari sekian banyak profesi yang ada di Indonesia, hanya mahasiswa yang disematkan gelar ‘maha’ di depannya. Predikat tersebut menempel lantaran peran mahasiswa yang penting seperti aktivis maupun sesosok agent of change. Namun, di abad ke-21 ini, menjadi mahasiswa bukan melulu soal belajar dan aktif organisasi, tetapi juga mencari jati diri guna menemukan passionnya. Salah satu yang terbentuk di era serba modern ini merupakan passion bermain game yang mana dapat disalurkan sebagai profesi atlet esports.

Gebrakan esports terhadap dunia perkampusan mulai ramai beberapa tahun belakangan. Tahun 2019 lalu, ada dua turnamen resmi yang digelar khusus untuk ranah kampus yakni, Indonesia Esports League (IEL) University dan PUBG Mobile Campus Championship (PMCC). Dikutip dari web resminya, Tencent games selaku publisher PUBG Mobile mengharapkan turnamen ini dapat memfasilitasi dan memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk berkarier di dunia esports.

IEL 2019 lalu mempertandingkan dua game yakni DOTA 2 dan Mobile Legends: Bang-Bang. Sebanyak 12 perguruan tinggi dari penjuru nusantara bertanding untuk memperebutkan titel terbaik. Binus University pun keluar sebagai jawara dalam kedua game. Di tahun berikutnya, IEL 2020 kembali hadir dan mengusung game yang berbeda, yakni DOTA 2 dan Free Fire. Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi pemegang predikat tim DOTA 2 terbaik setelah mengalahkan Kwik Kian Gie. Sedangkan dari pertandingan Free Fire, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) keluar sebagai juara berkat mengantongi total 2485 poin.

Binus University saat IEL Season 1 2019

Memasuki dekade baru, selain terus bergulirnya IEL dan PMCC, satu turnamen baru esports bagi mahasiswa muncul. Adalah LIMA Esports yang hadir ke permukaan dengan mempertandingkan game Mobile Legend: Bang-Bang. LIMA (Liga Mahasiswa) sendiri merupakan festival turnamen olahraga antar mahasiswa terbesar di Indonesia. Olahraga konvensional seperti basket, futsal, maupun badminton tak pernah absen dikompetisikan setiap tahunnya. Memasuki penghujung 2020, LIMA pun membawa gebrakan baru dengan memasukkan cabang olahraga esports.

Lantas, seberapa besar pengaruh kompetisi antar kampus tersebut terhadap bakat para talenta muda baru esports? Benarkah apa yang para publisher harapkan, yaitu memfasilitasi dan memberi kesempatan bagi para jiwa muda terbalaskan?

Rizky Abi Putra, support player tim DOTA 2 Binus University menghaturkan rasa syukurnya dengan kehadiran IEL. Ia merasa turnamen perdana antar kampus se-Indonesia tersebut memanjakan asa dan cita-citanya menjadi pemain profesional DOTA 2.

“Saya berencana menjadi pro-player, jika tidak ada IEL maka saya harus berusaha lebih ekstra. Tapi, dengan adanya IEL, mereka membantu kita agar dapat dinotice tim-tim Indonesia,” terang Abi yang juga merupakan pengurus Binus Esports.

Abi kala memenangkan IEL Season 1

Para mahasiswa pun memanfaatkan turnamen-turnamen antar kampus tersebut dengan maksimal. IEL sendiri seolah menjadi pintu masuk untuk para mahasiswa merintis karirnya di dunia esports. Terbukti salah satu jebolan Binus sendiri ada yang diberangkatkan ke Singapura pada helatan SEA Games 2019 untuk mengikuti pelatihan. Ialah Marcellino ‘Mj’ Jeremy yang berangkat ke Singapura tahun lalu guna berlatih bersama timnas DOTA 2. Tak hanya itu, menurut cerita Abi, ada rekannya yang juga  yang sempat dilirik tim profesional Indonesia Army Geniuses.

Tak berbeda jauh dengan kisah anak Binus, Apriliandi Saputro Desthoadi, ketua komunitas UGMEsports menjelaskan beberapa mahasiswanya sempat di-trial tim-tim Mobile Legends ternama seperti Alter Ego dan Geek Fam. Salah satu atlet tim inti PMCC-nya juga ditarik untuk menjadi bagian dari tim esports asal Semarang, VOIN Esports.

Bicara tentang kampus dan competitive scene secara umum, tak sedikit pula pro-player yang berangkat dari prestasi kecilnya di lingkungan kampus. Brizio Adi Saputra atau ‘Hyde’ salah satu punggawa BOOM Esports misalnya, merasa diuntungkan dengan kehadiran turnamen-turnamen esports di dalam kampus. Saat masih mengenyam bangku perkuliahan, ia melakukannya bersamaan dengan mengisi roster Pandora Esports.

“Membantu! (turnamen internal kampus). Karena semakin banyak turnamen yang diadakan, semakin terekspos para pemainnya, sama halnya seperti olahraga lain, contohnya basket,” tutur pria yang akrab disapa Zio tersebut.

Bergulirnya turnamen-turnamen esports antar kampus mengisyaratkan satu hal baru, maraknya skena kompetitif game di kalangan mahasiswa. Berangkat dari situ, muncullah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau komunitas esports di lingkungan kampus.

Pasalnya, mengutip dari TechCrunch, olahraga konvensional di Amerika mulai kalah pamor dengan esports. Sebagai contoh, turnamen divisi satu football di Amerika kalah saing dengan penonton League of Legends yang mencapai angka 60 juta penonton. Walaupun tidak sebanding, temuan tersebut menandakan peluang esports untuk dikembangkan di ranah kampus.

UGM menjadi satu dari sekian perguruan tinggi yang memanfaatkan situasi tersebut. Kendati belum diakui secara resmi sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), UGM mendirikan komunitas UGMEsports yang berisikan para pegiat-pegiat esports kampus yang berlokasi di Jogja tersebut.

Walaupun UGMEsports didirikan atas dasar kebutuhan IEL Season 1 lalu, April selaku ketua UGMEsports menyatakan tingginya antusiasme mahasiswa mengikuti kegiatan esports di kampus. Selain rutin mengirimkan squad untuk IEL dan PMCC, turnamen esports internal kampus juga diikuti secara utuh dari setiap fakultas.

Para pegiat esports UGM di PMCC

“Ada lomba di UGM namanya Pekan Olahraga dan Seni UGM (Porsenigama). Kita diajak saling support (oleh penyelenggaranya) biar ada esports. Kemarin turnamen Point Blank, Valorant, Dota 2, PUBGM, dan ML digelar, semua 14 fakultas mengirimkan timnya full,” kata April terkait antusiasme mahasiswa UGM terhadap esports.

Tak jauh berbeda dengan UGM, Binus University juga membentuk komunitas esports bertepatan dengan usainya IEL Season 1. Statusnya yang masih komunitas disebabkan kurangnya anggota Binus Esports untuk dapat naik bertahap ke jenjang UKM.

Antusiasme 'warga' Binus juga dapat dikatakan besar. Kata Abi, banyak follower akun instagramnya yang kerap menanyakan turnamen internal maupun tatacara mewakili Binus di turnamen antarkampus

“Antusiasme sangat tinggi, mereka tiap hari chat admin Binus Esports untuk nanya tentang turnamen rektor cup, bagaimana cara masuk tim Binus,” kata pria yang akrap disapa Abi.         

Selain tentunya melakukan scrim menjelang latihan, turnamen-turnamen internal juga tak luput dari kegiatan aktif Binus Esports. Terdapat dua turnamen esports dalam Binus yakni Binus Squarelympic dan Rektor Cup.

Binus Squarelympic

Lalu, bagaimana pihak kampus merespon pertumbuhan esports di lingkungannya? Apakah mereka proaktif mendukung? Atau justru bertentangan?

April mengaku pihak kampus banyak membantu UGMEsports lantaran banyak prestasi yang sudah mereka toreh. Ia menyatakan banyaknya pemberitaan positif serta trofi-trofi dan hadiah turnamen menjadi alasan utama pihak UGM berbaik hati mendukung penuh komunitas barunya tersebut.

Berbeda dengan UGM, pihak Binus sempat ragu akan eksistensi esports di kampus mereka. Namun, trofi juara IEL Season 1 membuka mata hati pihak Binus untuk mendukung penuh skena kompetitif esports antar kampus. Bahkan kini masalah biaya dan sponsorship sudah Binus alirkan terhadap ekosistem esportsnya.

“Setelah ikut IEL kita buktikan kita bisa, kita juara, esporst lebih dari sekadar game, baru kampus memberikan dukungan. Kita rencananya mau dibuatkan bootcamp di dalam kampus gara-gara IEL,” jelas Abi.

Dilema kampus dengan esports muncul kala para atlet perlu perlu membagi fokus antara passion dengan studinya. Para atlet yang juga berpredikat mahasiswa perlu menaruh fokusnya antara meniti karier atau menyelesaikan gelar akademiknya. Padahal, umur-umur pasca SMA merupakan awalan yang gemilang untuk memupuk karier di dunia esports.

Salah satu atlet DOTA 2 asal Swedia, Zai juga sempat vakum sejenak dari karier kompetitifnya lantaran ingin menyelesaikan pendidikan. Ia berhenti sekitar 10 bulan pasca The International 5 saat masih membela squad Team Secret di era-era awal mereka.

Di tanah air, Ihsan “Luminaire” Besari dan Nizar “Microboy” Lugatio juga menjadi contoh. Luminaire selaku atlet Mobile Legends EVOS Esports tersebut sempat diskusi dengan orangtuanya terkait karier esportsnya. Pasalnya, jika ia stuck atau bahkan menurun, orangtuanya akan memintanya kembali meneruskan kuliahnya. Sedangkan Microboy, ia justru sempat cuti kuliah untuk memenangkan PMCO 2019 lalu.

“Saya bekerja di esports memang ada perjanjian dengan keluarga. Kalau karier naik terus, keluarga masih akan setuju. Kalau stuck, harus balik kuliah,” tutur Luminaire dalam streamnya.

Kendala akademis juga dialami Matthew “Whitemon” Filemon. Mantan posisi 5 Geek Fam tersebut mengeluhkan pembagian fokusnya kala mengisi roster EVOS Esports. Ia terpaksa mengambil kesempatan cutinya demi mengembangkan karier esportsnya menjadi cemerlang lagi.

Whitemon bersama Geek Fam

“Baru mau ambil, langsung cuti, lagi sibuk di esports,” kata Whitemon yang juga mahasiswa Binus.

Berbeda dengan Whitemon, Hyde mengaku tak membutuhkan status cuti untuk karier esportsnya. Menurutnya, saat memulai tangga kariernya di dunia esports, ia tidak terlalu terbebani akan peran mahasiswa dan playernya. Ia mengaku awal mula bermain di kancah kompetitif bersama Pandora Esports tak terlalu merepotkan

“Kebetulan dulu jadwal di Pandora ga terlalu sibuk seperti sekarang di BOOM. Jadi kuliah sama DOTA bisa berjalan berbarengan, tidak perlu cuti juga,” terang alumni Universitas Padjadjaran tersebut.

April yang menjabat sebagai ketua komunitas UGMEsports juga merasakan problema yang sama. Namun, dari situ ia justru memaparkan pentingnya sorotan terhadap esports di ranah kampus yang menurutnya memiliki daya tarik tersendiri.

“Ranah kompetitif esports paling unik itu ada di universitas. Satu, kita harus profesional karena kewajiban kita sebagai mahasiswa dan player. Dua, kita harus bisa belajar manajemen waktu. Tiga, dalam attitude dan kedisiplinan, kita perlu jaga image,” ungkap April mengenai sulitnya membagi peran mahasiswa dan pro-player.

Hyde yang sudah menyelesaikan studi sarjananya pun menganggap pilihan untuk fokus berkarier di esports atau menuntaskan studi akademik dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Tetapi menurutnya perlu pertimbangan mendalam sebelum akhirnya seseorang memantaskan diri sebagai pro player.

“Tergantung opini seseorang ya, kalau dia merasa karier dia lebih penting untuk saat itu, mungkin dia berhenti kuliah dulu. Tapi kalau lebih mementingkan pendidikan mungkin menyelesaikan dulu pendidikannya. Dua opsi itu memungkinkan, kebetulan Zio masuk ke dalam yang kedua,” aku Zio akan pilihannya.

Whitemon juga tipe orang yang kedua, yakni yang percaya menyelesaikan masa studi perkuliahan penting. Ia berpendapat kepada rekan-rekan mahasiswa yang ingin terjun ke dunia esports untuk tetap memikirkan akademiknya.

Turnamen esports rutin di Binus University

“Sebenarnya tergantung orang ya. Cuman kalau menurut saya kalau udah setengah jalan (kuliahnya) mending dikelarin aja dulu, biar lebih fokus. Daripada pas udah kariernya naik malah nanggung, jadi bingung, mendingan diselesain dulu biar enak,” tutur Whitemon.

Pada akhirnya, kehadiran esports di ranah kampus menjadi alternatif yang baik dalam competitive scene. Bukan rahasia jika nantinya, para pengisi kekosongan atlet-atlet esports baru hadir dari kursi kampus-kampus di Indonesia. Para Pro pun sepakat akan peran penting turnamen kampus dalam menyokong calon-calon talenta baru.

Kita bisa berkaca dari nama-nama player di atas yang sudah melanjutkan kiprahnya ke tim-tim esports besar. Walaupun sekadar trial atau uji latih bersama, hal tersebut sudah menjadi bukti bahwa jalur esports kampus menjadi alternatif munculnya talenta muda baru di Indonesia.

Karena itu, pro player maupun mahasiswa sepakat akan satu hal, bahwa esports ranah kampus menjadi juruselamat bagi regenerasi atlet esports, terlebih Zio dan Whitemon yang melihat skena kompetitif DOTA 2 di Indonesia yang mulai merosot.

“Tentu saja membantu, semakin banyak turnamen yang bisa diikuti player (mahasiswa), semakin banyak pula pemain (baru) tertarik dalam dunia esports,” kukuh Zio.

“Penting banget sih itu, soalnya buat regenerasi player. Sekarang DOTA di Indonesia kurang regenerasinya, orangnya itu-itu aja. Penting banget buat player-player baru,” tambah Whitemon.

“Ranah esports kampus bisa jadi keuntungan. Masyarakat bisa lebih memahami dunia esports itu bisa sejalan dengan interest kita,” tambah April akan esports di ranah kampus.

Dunia pendidikan, khususnya kampus pun mulai memberikan perhatian lebih kepada esports. Tak hanya sekedar membuka UKM, salah satu universitas di Jawa Tengah bahkan membuka progam studi esports.

Selain mencetak sarjana, terbukti kampus jadi lubang baru bagi para atlet esports yang ingin mencoba peruntungannya. Di sisi lain, competitive scene juga terbantu akan kehadiran ekosistem esports di kampus. Hal tersebut membuktikan bahwa kampus dan esports merupakan dua hal yang berkesinambungan dan saling melengkapi demi industri yang lebih maju. Kamu setuju Sobat Esports?