Sebagai benua yang menua, tatanan piramida masyarakat di Eropa mulai berubah. Menyusutnya penduduk usia produktif membuat Angkatan bersenjata sulit mencari kandidat baru untuk bela negara.
Meski demikian, ada paraturan yang memperbolehkan suatu negara di Eropa merekrut prajurit negara persekutuan Eropa lain dalam kapasitas tertentu. Namun, kebijakan ini banjir kritikan karena potensi manipulasi dan sabotase jadi meningkat. Pihak militer juga enggan menurunkan standar penerimaan mereka dan menggaet kriminal atau anggota geng karena khawatir penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, pihak militer di Eropa beralih kepada gamer. Mengapa? Beberapa alasannya adalah kelompok gamer cenderung penduduk yang masih muda. Mereka dekat dengan teknologi karena terbiasa berinteraksi dengan komputer atau teknologi masa kini.
Lebih lanjut, penelitian menunjukan kalau pemain game kekerasan tak berimplikasi pada perilaku yang menyimpang dalam kehidupan sosial. Malahan, bermain video game seperti itu bisa memicu perkembangan kemampuan kognitif yang berguna dalam dunia militer. Contohnya, tingkat kewaspadaan yang lebih akurat, daya pengamatan visual yang lebih tinggi dan kemampuan berpikir yang lebih kuat.
Beberapa negara Eropa telah memulai penyaringan gamer. Forsvaret (Pasuka Bersenjata Denmark) dengan mudah mendapatkan peserta lewat program tes penerbangan yang menantang. Kegiatan ini mereka lakukan bersama dengan tim esports ternama, Astralis. Dari hasil tes ini menunjukan kalau gamer punya kemampuan untuk kapasitas belajar yang baik, berpikir strategis, kemampuan visualisasi, tenang dalam tekanan, memiliki reaksi yang cepat, mampu bekerja sama dan mengambil keputusan seketika.
Program ini kemudian diikuti oleh negara Eropa lain seperti Jerman, Belanda dan Inggris. Jerman misalnya, anggota Bundeswehr ikutserta dalam Gamescom di Cologne. Mereka mencari orang yang punya ketertarikan dengan komputer.
Angkatan bersenjata Belanda malah membentuk tim esports dan mempertandingkan mereka dalam turnamen CS:GO. Meski tim tentara tak mampu juara, tapi tujuan utama mereka adalah sebagai scout atau pencari bakat yang tertarik untuk bergabung ke tentara.
Serupa dengan tentara Belanda, prajurit di Inggris telah menjalankan tim esports mereka sejak pertengahan 2019. Tim ini diperintahkan untuk ikut serta dalam festival game “64 Insomnia Gaming Festival” di Birmingham. Royal Air Force atau RAF baru-baru ini membangun stasiun bermain game mereka dengan PC dan konsol yang dibelikan dari dana RAF Central Fund, termasuk meresmikan Royal Air Force Video Gaming & Esports Association (RAF VGEA).
Tak ketinggalan, US Army mungkin sudah menjadi pelopor angkatan bersenjata kekinian yang suka main game. USAE, US Army Esports team telah berdiri sejak November 2018 dan memiliki 16 prajurit aktif dan satu cadangan yang berasal dari latarbelakang IT, polisi militer, prajurit angkatan darat bahkan satuan khusus.
Tujuan utama mereka adalah untuk memberitahukan eksistensi dari berkarir di tentara dan keuntungannya. Setiap pelamar yang ingin masuk tim esports ini akan bertugas tiga tahun menjalani kegiatan sebagai tim esports professional. Mereka biasanya melakukan stream di Twitch. Setelah tugas tersebut selesai, mereka akan kembali pada aktivitas utama seorang prajurit yaitu pertahanan negara. Kesuksesan langkah ini membuat US Air Force dan US NAVY turut membuka lowongan untuk gamer di divisi mereka.
Wah, kesempatan nih buat gamer yang suka main game tembak-tembakan untuk memagang senjata dan bela negara secara nyata. Apakah Sobat Esports berharap TNI membuka program yang sama?
Upcoming Tournament | Lihat Semua > | |
---|---|---|
Belum ada event
|
Ongoing Tournament | Lihat Semua > | |
---|---|---|
Belum ada event
|
Video Pilihan | ||
---|---|---|
|
Oh pantes kmaren esl csgo sponsor nya us air force.