The International, Terbesar Namun Ancaman Bagi Masa Depan DOTA 2

Rendy Lim
01/08/2018 15:50 WIB
The International, Terbesar Namun Ancaman Bagi Masa Depan DOTA 2
The International

The International, event tahunan terbesar untuk DOTA 2 terkenal dengan prize pool yang megah ternyata menyimpan 'efek domino' yang buruk bagi masa depan DOTA 2 itu sendiri. Dilansir dari Kotaku kemarin (31/7), yang mencoba menjelaskan bagaimana The International akan membuat scene DOTA 2 semakin buruk dan merusak masa depannya. 

The International merupakan turnamen tahunan yang diselenggarakan untuk DOTA 2, dengan prize pool terbesar dibandingkan eSports lainnya, 21 juta USD (303 miliar Rupiah) dan terus meningkat saat ini. Tidak seperti Overwatch League dan League of Legends, The International tidak mengandalkan sponsor ataupun hak siar media. Turnamen mereka sepenuhnya dibiayai oleh fans, membuat hadirnya sistem demokrasi dalam skala turnamen internasional. Bagi fans, selebrasi tahunan untuk DOTA 2 ini,  tidak pernah tercoreng oleh keserakahan perusahaan, bahkan bisa menyediakan prize pool lebih dari 20 juta USD setiap tahunnya. 

Namun sisi lain dari The International yang membuat DOTA 2 adalah tempat yang keras untuk turnamen adalah tim dan kebanyakan player mengandalkan sepenuhnya turnamen ini untuk kehidupan mereka. Terlepas dari semua gemerlap yang hadir di The International, banyak sekali bukti bahwa turnamen terbesar DOTA 2 ini menyakitkan dan tidak membantu DOTA 2 secara keseluruhan. 

Permasalahan ini adalah tentang uang. Ekosistem eSports sangatlah kompleks dan kepentingan bisnis para partisipannya (player, tim, EO, publisher, dan lain-lain) tidak bergerak segaris. Turnamen punya caranya sendiri untuk mendapatkan uang, sama halnya dengan tim memiliki cara berbeda. Idealnya, model bisnis ini tidak mempengaruhi satu dengan yang lainnya, namun dalam prakteknya, mereka seringkali bersinggungan.

Salah satu cara untuk mengerti sejarah dari eSports adalah membawa kepentingan-kepentingan ini dan mengurutkannya. Melakukan sistem franchise ala League of Legends dan Overwatch merupakan salah satu strateginya, meskipun terdapat kelebihan dan kekurangannya. Namun Valve punya cara tersendiri untuk mengatur DOTA 2

CEO Valve, Gabe Newell membeberkan filosofinya dalam membangun perusahaannya ketika memberikan seminar pada tahun 2013 di University of Texas, "Tugas kami adalah untuk memaksimalkan produktifitas user dalam membentuk konten kreatif dan beri layanan. Market nantinya akan menentukan harga bagi setiap aktifitas tersebut. Cara ini akan membuat semakin banyak variasi dan nilai yang dibuat oleh setiap orang."

Dalam kata lain, Valve tidak menciptakan produk melainkan menciptakan market. Berdasarkan pemikiran dari Newell, mekanisme dari free market akan membuat semua pihak di DOTA 2 ke dalam satu urutan. Namun pada faktanya, hal ini tidak selalu berjalan dengan pemikirannya, misalkan dengan adanya intervensi dari Valve setiap tahunnya. Mengasumsikan The International seperti black hole, yang menyedot semua benda di sekitarnya dan memaksa semua masuk ke orbit DOTA 2. Efek dari distorsi ini terlihat mudah pada third-party tournaments dihadapkan dengan perbandingan yang tidak ada apa-apanya, membuat turnamen lain akan terlihat kecil jika dibandingkan dengan TI.  

The International telah menjadi turnamen paling penting dalam DOTA 2. Namun antara 2011 hingga 2017, ketika semakin banyaknya third-party tournaments yang berpartisipasi di dalam event DOTA 2, persentase dari total annual prize pool untuk DOTA 2 yang berfokus pada TI menurun dari 96 persen di 2011 menjadi hanya 55 persen di tahun 2016. Namun, untuk dua tahun belakangan ini, jumlah tersebut kembali meningkat, di mana The International 2017 meraih 65%, dan jumlah yang sama juga terlihat di tahun ini. Hal ini membuat semakin sulit bagai third-party tournaments unutk mendapatkan sorotan dari para fans ataupun player. 

Organizer seperti ESL dan Beyond The Summit tidak lagi memiliki opsi sama dengan cara yang pernah mereka lakukan untuk meningkatkan pendapatkan saat Valve mengubah peraturannya. Sebelumnya, mereka bisa menggunakan sistem crowdfunding layaknya compendiums TI ataupun virtual goods berbau turnamen untuk bantu meningkatkan prize pool serta menutup biaya penyelenggaraan event offline. Namun sejak tahun 2016, Valve menghentikan mereka untuk melakukan hal tersebut. 

Penyelenggara dan fans punya teorinya masing-masing kenapa Valve melakukan hal tersebut, namun jawaban paling simpel adalah karena jika third-party tournaments terlalu banyak menguras uang melalui crowdfunding sepanjang tahun, maka hal tersebut akan menganggu mereka saat 'menyumbang' di TI. Ketika fans DOTA 2 melihat konsistensi peningkatan setiap tahunnya dalam prize pool TI yang dihubungkan dengan progres dari DOTA 2, namun jumlah player dan pendapatan yang menurun, tidak ada cukup bukti yang menunjukkan kalau 'pie' tersebut semakin besar. Malahan, Valve hanya mengambil persentase terbesar bagi dirinya sendiri, atau jika dibilang 'pie' tersebut bisa berkembang karena hanya akumulasi kapital. 

Hasilnya? Third-party tournaments seringkali menemukan dirinya berada dalam paksaan untuk berkompetisi dengan peraturan yang tidak adil dengan perusahaan yang paling untung di dunia ini. Mengakibatkan 'lingkaran setan' bagi para professional player yang semakin bergantung dengan The International, serta merendahkan third-party tournaments yang selayaknya bisa menyelamatkan mereka dari ketergantungan ini. 

Pergerakan dinamis ini juga menghadirkan tantangan bagi para calon pemilik tim DOTA 2. Tidak seperti eSports lain yang memiliki franchise, DOTA 2 tidak perlu banyak beban untuk dimasuki. Pemilik tim di League of Legends dan Overwatch harus membayar jutaan untuk slot franshise kemudian menyetujui peraturan tentang branding, staff serta kompensasi minimun. Hal berbeda di organisasi DOTA 2 saat ini, mereka bisa membayar player mereka dengan apapun yang mereka inginkan. 

Meskipun tidak mudah untuk dimasuki, beberapa investor melihat DOTA 2 sebagai sesuatu yang menarik dan TI merupakan alasan besar di dalamnya. Karena prize pool yang sangat besar jika dibandingkan turnamen lain yang akan berlangsung di tahun itu, maka player melakukan segala hal untuk bisa mencapainya termasuk mencari organisasi yang mau mensponsori mereka. 

Hal ini menimbulkan sesuatu yang mudah untuk diprediksi. Muriel Huisman, coach dari Vega Squadron mengatakan telah timbul kebimbangan dari para player. Prize pool di TI jumlahnya lebih dari yang ditawarkan oleh turnamen lain dan bertanding di TI akan lebih menguntungkan. Hasilnya, player kadang merusak atau melanggar kontrak untuk dapat bermain dengan tim yang dipandang punya kesempatan lebih besar untuk bermain di TI, karena hadiah bagi juara terakhir saja bisa setara dengan tiga hingga enam bulan gaji mereka. 

Hal ini tentu bukan situasi yang baik bagi tim, terlepas dari hal-hal administratif seperti membuat kontrak baru, berburu pemain baru, atau menegoisasikan sponsor anyar, maka situasi ini membuat tim tidak bisa berpikir ke depannya. Mereka pun sulit dalam merencanakan planning, sehingga nantinya sebuah tim dapat saja bubar kapanpun, tidak ada gunanya membuat rencana untuk lima tahun ke depan. 

Masalah tentang perpindahan player sangat jelas terlihat pada bulan Mei ketika regional qualifiers untuk TI sedang berlangsung. Tim yang tidak mendapatkan direct invite akan mulai bergerak, mengganti pemain untuk menyusun strategi menuju regional qualifier. Tidak ada cabang eSports lain yang mengalami hal serupa, namun tidak akan mengejutkan sebagai konsekuensi dari DOTA 2 yang tidak terstruktur dengan jelas. 

Huisman juga mengatakan gaji dari pemain DOTA 2 cukup rendah karena ketidakstabilan tersebut, sehingga sponsor sulit untuk menjangkau audience. Gaji mereka akan tetap sedikit tergantung dengan proporsi dari prize pool dan membuat player mengutamakan keuntungan jangka pendek dibandingkan loyalitas ataupun stabilitas jangka panjang. 

Hal terburuk bisa muncul dari akibat yang ditimbulkan oleh player yang hanya melakukan latihan demi bisa tampil bagus di The International tanpa memikirkan tim yang mensponsorinya. Saat ini tidak mudah untuk mendapatkan player yang berpikir tentang organisasi mereka. Mudah untuk menyalahkan player yang hanya memiliki pemikiran jangka pendek, namun permasalahannya lebih dari itu. Player DOTA 2 adalah contoh dari eksperimen Stanford marshmallow. Penelitian lebih lanjut tentang eksperimen tersebut menemukan bahwa bukan willpower namun socioeconomic status yang membentuk pilihan dari individu. Hal ini sama dengan player DOTA 2 yang telihat selalu memprioritaskan keuntungan jangka pendek (hadiah, terutama di TI) dibandingkan masa depan yang stabil. 

Kamu mungkin berkata, kenapa tidak? Player profesional tidak hanya bermain DOTA 2 (sebagai jenis game saja), melainkan game yang juga aspek eSports tinggi, sehingga bergabung dengan tim tidak memerlukan strategi terlalu kompleks. Player punya alasan yang bagus untuk menghindari tim yang tidak bisa memberikan stabilitas dalam bentuk gaji, namun karena ancaman pengabaian dan pemain DOTA 2 yang tidak bisa melakukan apapun selain latihan, tim tidak memiliki cara lain untuk membuat nilai agar bisa memberikan gaji yang menarik. Ini adalah lingkaran setan yang lain dalam DOTA 2

Status quo yang sering menjadi perdebatan adalah fakta yang menunjukkan 49 dari 50 player dengan gaji tertinggi berasal dari DOTA 2. Hampir semuanya karena The International. Jika digabungkan, baik yang berupa kompensasi kemenangan ataupun gaji, pemain DOTA 2 memang mendapatkan uang terbanyak dalam eSports. Namun hal ini bukan berarti kita melepaskan diri untuk melihat stabilitas keuangan bagi player yang berada di luar golongan tersebut. 

Berdasarkan Esportsearnings.com yang telah mendata prize winnings untuk DOTA 2 sejak tahun 2011, dalam 500 player (perkiraan jumlah orang yang pernah bermain di scene DOTA 2 secara profesional), rata-rata nominal bagi pemenang adalah 288.196 USD atau sekitar 41.167 USD, per tahun. Sekarang bandingkan dengan pemain berpendapatan menengah, misalnya Julius 'Julz' Deleon yang telah mendapatkan 39.041 selama 2013, atau 6506 USD per tahun. Julz bukanlah salah satu hard support terbaik di dunia, namun dia memperoleh lebih dari 99.95 persen player lainnya, dan kian ironi ketika jumlah yang didapatkan adalah rata-rata pendapatan rakyat miskin di negara berkembang.

Selanjutnya,dari total 144 juta USD hadiah uang yang telah diberikan sejak DOTA 2 rilis, sekitar 29 Juta USD hanya tersebar untuk 10 pemain, sementara uang yang berputar di DOTA 2 kebanyakan berakhir pada beberapa tangan saja, sehingga munculkan kesenjangan dalam kesejahteraan pemain.

Hadiah dari turnamen hanyalah salah satu bagian dari kompensasi pemain dan gaji bulanan seharusnya memberikan kestabilan bagi para player. Namun jika jumlah gaji dapat digabungkan dengan prize winning, maka akan ada perbedaan jauh antara pemain elit dengan rata-rata pro player lainnya. Contohnya, Team Liquid, yang memberitahu The Verge jika gaji player mereka berkisar antara 100.000-200.000 USD per tahun dan porsi terbesar adalah hasil kemenangan The International. Faktanya, tim yang bisa memberikan gaji seperti itu hanyalah mereka yang pernah menang, karena tidak ada sponsor atau investasi bagi tim kalah. 

Bagi tim tier 2 dalam DOTA 2, gaji mereka akan jatuh terjal, belum lagi mereka di tier tiga, pastinya mereka akan kehilangan gaji. Ambil kasus yang menimpa pro player Freddy “SmasH” Sina, dia mengatakan bahwa gajinya di Infamous, salah satu tim terbaik asal Peru, adalah 90 USD per bulan. Tim yang tidak memiliki gaji tetap tentunya memiliki kelemahan, dan mereka juga tidak mampu berlatih secara efektif. Contoh lain adalah Rave asal Filipina, yang pernah menulis di Facebook bahwa ada momen saat mereka hanya memakan telur untuk satu minggu demi bisa berhemat. 

Bagaimana hal ini bisa terjadi dalam game dengan turnamen berhadiah capai angka 20 juta USD? Cerita tentang SmasH dan Rave telah membuat noda dalam DOTA 2, bahkan menciptakan pertanyaan integritas scene kompetitif game ini. Seperti yang dipertanyakan oleh Huisman, "Seberapa besar artinya bagi tim yang bagus jika semua lawanmu masih perlu memikirkan bagaimana mereka mesti bertahan hidup sehari-hari?"

The International tidak menciptakan permasalahan yang rumit ini, ataupun bisa disebut sebagai penyebab utamannya. Semua hal berhubungan antara satu dengan lainnya sebagai akibat dari interaksi bagian-bagian lain di ekosistem DOTA 2 selama ini. Tapi, event TI tidak membantu menyelesaikan masalah ini, namun malah memperburuk keadaan. Dorongan dari player, tim, dan turnamen organizer, yang tidak selaras dengan Valve, kemudian The International malah memperlebar jarak antar mereka. Sepertinya sampai adanya perubahan, DOTA 2 tidak akan berhenti untuk tetap 'membawa' masalah laten seperti ini. 

Satu-satunya berita baik adalah DOTA 2 tidak kemana-mana saat ini. Dia masih menjadi game paling populer di Steam dan memiliki angka penonton yang cukup tinggi di Twitch. Pertanyaan berikutnya, sampai lima tahun ke depan, kemanakah arah DOTA 2 ini akan berpihak? Player, tim, organizer, atau tetap menjadi ATM bagi Valve sendiri? Dan, peran apa yang akan dimainkan oleh The International ke depannya? 

Hingga saat ini, pemenang sesungguhnya dari DOTA 2 hanyalah beberapa tim elit dan Valve. Sisanya, yakni turnamen, tim, dan beberapa player kecil harus berusaha mati-matian atau meninggalkan scene ini. Namun tidak menutup kemungkinan untuk DOTA 2 berubah, sayangnya ini semua bergantung pada Valve yang membuat regulasinya. Ini tampak menjadi ironi bagi Valve, perusahaan yang tampak lepas tangan untuk membuat stabilitas eSports dalam gamenya, berbeda jauh dengan Blizzard dan Riot Games

Memperbaiki masalah di DOTA 2 bisa dimulai dengan The International. Cara yang bisa dilakukan oleh Valve adalah meregulasi ulang The International dengan mempertimbangkan uang yang didapat untuk kepentingan lain seperti turnamen-turnamen kecil lainnya. 

Valve juga dapat mengubah sistem pembagian dari The International pada tim-tim yang terdiskualifikasi pada awal pertandingan, atau mereka yang hampir lolos kualifikasi. Sedikit uang yang diambil dari top prize pool tidak akan terlalu berpengaruh pada pemenang, namun bagi organisasi kecil, jumlah tersebut bisa membantu mereka dalam hidup kesehariannya, antara makan sampai membiayai latihan ke depannya. 

Mengubah The International seperti ini mungkin akan perlu pengorbanan besar dari Valve, dalam hal ini tentu adalah keuntungannya. Namun ini berguna untuk mendapatkan kesuksesan jangka panjang. Masa depan bagi DOTA 2 yang bisa memberikan support kepada sebanyak mungkin player dan bangun kompetisi yang berkualitas pada tahun-tahun mendatang. Jika Valve bisa memfokuskan scene kompetitif DOTA 2 yang 'lebih sehat', mungkin pro player juga bisa memberikan fokusnya ke hal tersebut juga. 

Upcoming Tournament Lihat Semua >
Belum ada event
Ongoing Tournament Lihat Semua >
Belum ada event
Video Pilihan
Solo MMR
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
This leaderboard is currently unavailable.
Team MMR
1 Team Falcons 1713
2 Tundra Esports 1556
3 BetBoom Team 1541
4 CyberBonch-1 1520
5 Xtreme Gaming 1506
6 Gaimin Gladiators 1483
7 Team Liquid 1482
8 G2 x iG 1452
9 VGJ Storm 1450
10 Aurora.1xBet 1436