Esports

Menghapus Stigma Dunia Esports, Benarkah Atlet Esports Rawan Star Syndrome?

Billy Rifki
09/06/2024 16:27 WIB
Menghapus Stigma Dunia Esports, Benarkah Atlet Esports Rawan Star Syndrome?
esports.id, MPL

Industri gaming kompetitif yang makin meroket di tanah air kian menyita perhatian. Mulai dari kabar para pelaku seperti player dan tim esports, popularitas turnamen sampai bumbu-bumbu drama jadi konsumsi rutin penikmatnya.

Di antara berita-berita baik dunia esports, masih ada stigma-stigma melekat yang tak kunjung bisa ditutupi. Misalnya, main game bikin anak bodoh dan lupa pendidikan, main game tak punya masa depan dan lain-lain. Berbagai edukasi dilakukan untuk menegaskan kalau esports bukan buang-buang waktu. Banyak hal yang bisa didapat mulai dari penghasilan, masa depan menjanjikan dan prestasi yang mengharumkan bangsa.

Salah satu stigma yang melekat di dunia esports adalah atlet esports cenderung star syndrome. Benarkah demikian?

Mendapat popularitas, kekayaan dan pengikut jutaan di usia muda tentu bukan hal yang mudah dicerna bagi anak muda. Banyak atlet esports yang aktif di Indonesia saat ini bahkan mencapai puncak karirnya sebelum umur 17 tahun. Tak heran kalau sifat labil, ketidakdewasaan dan emosional masih kerap jadi output ekspresi utama mereka.

Salah satunya player EVOS Glory, Branz yang mengakui pernah mengalami star syndrome saat ia digadang-gadang sebagai salah satu player MPL Indonesia terbaik kala itu.

“Gua pribadi pernah mengalami itu (star syndrome) ketika MPL ID season 5, pas itu kaya jadi ngerasa di atas, sama temen-temen jadi semena-mena. Cuman kelamaan semakin dewasa semakin sadar diri apalagi kalau misalkan performa kita jadi jelek, performa tim jadi jelek. Pasti lama-lama kita mikir apa yang salah, harus nurunin ego lah seiring berjalannya waktu dan usialah bertambahnya usia," sebutnya

Star syndrome bisa disejajarkan dengan arogansi, cepat puas diri dan memandang rendah orang lain. Mereka merasa begitu kuat dan sempurna hingga kadang kurang peka dengan situasi dan cara pandang orang lain. Waktu dan nasihat dari orang terdekat jadi jurus terjitu untuk mempercepat kedewasaan mereka. Tak jarang hantaman netizen juga punya dampak untuk menyadarkan mereka dari sifat angkuh yang lebih banyak merugikan branding dari mereka dan tim yang ia naungi.