Kisah Pak Pras Ubah Pandangan Negatif Esports di Sekolah

Basitullah
22/02/2019 10:47 WIB
Kisah Pak Pras Ubah Pandangan Negatif Esports di Sekolah
Lucky Riyadi & Emereanus Prasetyo SMA Marsudirini Bekasi

JD.ID High School League 2019 siap memulai musim barunya setelah menyaring ratusan sekolah pada babak kualifikasi di tahun 2018. Usung sistem liga, tentu ajang ini akan jadi pagelaran bergengsi mempertaruhkan nama sekolah untuk buktikan yang terbaik di kompetisi DOTA 2, sekaligus ekshibisi bagi gim Mobile Legends.

Hal menarik yang Esports.ID dapatkan langsung dari guru pendamping siswa SMA Marsudirini Bekasi adalah perihal ragam tantangan yang mereka hadapi dalam memperjuangkan esports agar bisa diterima oleh sekolah dan juga orang tua. Karena selama ini kita hanya tahu bahwa pagelaran JD.ID High School League berjalan lancar, tanpa tahu bagaimana kisah para guru serta murid untuk mengikuti ajang ini. Penasaran kan?

Emereanus Prasetyo, guru pendamping dari SMA Marsudirini Bekasi bercerita tentang challenge yang dihadapi serta paradigma dari sekolah tentang gim. "Bisa dibilang citra game kepada sekolah itu sudah di-blacklist. Dari situ saya berkolaborasi dengan tim IT berjuang untuk mengubah paradigma dari gamers, kecanduan, anak-anak yang tidak bisa dikontrol, kemudian ada satu fasilitas atau media yang saya rasa cukup baik sebagai pendekatan awal."

"Prosesnya lumayan panjang, 3 tahun mereka melaluinya dan tahun ini baru di-acc oleh sekolah. Saya terus mencoba berikan pemahaman kepada kepala sekolah dan rekan-rekan guru. Akhirnya kepercayaan diberikan, dengan syarat para murid harus bertanggung jawab atas apa yang mereka jalankan. Apalagi diperlukan kriteria ketat bagi para siswa dapat mengikuti kegiatan ini, jadi tidak semata-mata suka game, tetapi akademisnya juga sangat diperhatikan. Bisa dibilang, mereka yang ikut serta dalam turnamen JD.ID HSL ini merupakan siswa-siswa yang berprestasi," tambah Pak Pras.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah pandangan terhadap gim yang sudah terlanjur negatif, khususnya di lingkungan sekolah, karena butuh effort yang lebih. Pemahaman berkompetisi di dalam gim yang hanya membuang-buang waktu saja, harus diselaraskan antara murid, orang tua, dan juga guru. Sehingga tidak salah kaprah bahwa tujuan dari kompetisi JD.ID HSL ini miliki muara yang positif baik itu untuk murid, maupun sekolah ke depannya.


Diana Tjong, Henry Yacob, Lucky Riyadi & Emereanus Prasetyo

SMA Marsudirini Bekasi tentu jadi salah satu dari sekian banyak contoh sekolah peserta JD.ID HSL 2019 yang berhasil meyakinkan pihak sekolah dan orang tua untuk terus melaju di ajang bergengsi ini. Meskipun kalau dilihat-lihat, banyak sekali syarat yang membuntuti di belakangnya.

Lucky Riyadi, selaku kapten tim DOTA 2 SMA Marsudirini Bekasi, ceritakan tantangan yang dihadapinya sebagai peserta JD.ID HSL, "Pertama jadwal latihan, kita tidak menghitung jamnya, paling tidak kita menyisakan waktu satu hari khusus untuk latihan. Pinter-pinternya kita saja dalam mengatur waktu, meskipun kadang satu minggu belum tentu kita bisa latihan, walau cuma satu kali. Karena tantangannya adalah untuk mengikuti lomba ini saja kita harus membuat surat pernyataan kalau nilai kita tidak boleh turun. Jadi, prioritas kita tetap pendidikan, biasanya kita mengerjakan tugas terlebih dahulu, belajar, baru saat sempat melakukan latihan."

Pak Pras memberitahukan, "Jujur kami tidak melihat prospek ke depannya, untuk saat ini yang kami lihat adalah bagaimana kami mencoba memfasilitasi apa yang menjadi bakat, minat di luar akademis bagi para murid. Di kurikulum K13 tidak hanya akademis yang menjadi sorotan pertama, tetapi di K13 justru di situ yang dilihat, karakter, bakat, dan minat sesuai kemampuan mereka masing-masing. Kami pihak guru hanya bisa bantu semaksimal mungkin memfasilitasi jalan untuk mereka tempuh minat di luar akademis itu. Terkait prospeknya, mereka lebih tahu dan bisa jawab sendiri."


Diana Tjong, Henry Yacob, Lucky Riyadi & Emereanus Prasetyo

Mengingat saat ini para peserta mayoritas berasal dari kelas 12, tentu perlu ada regenerasi karena kompetisi berikutnya mereka tidak lagi dapat terlibat dalam JD.ID HSL 2019, karena harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni perkuliahan. Bagaimana pihak sekolah menanggapi hal ini, bagaimana langkah yang dihadapi untuk merangsang murid baru agar mau dan terlibat?

"Mengacu pada peraturan yang ada, di mana tidak memperbolehkan siswa yang telah lulus untuk ikut serta, maka kami mulai besok melakukan seleksi. Tentu seleksi ini akan melibatkan mereka, melalui pendampingan para guru. Ketika ini ilegal, anak ngumpet-ngumpet untuk bermain, ketika ini menjadi satu wadah atau fasilitas, malahan tidak ada anak yang menawarkan diri. Itu yang menjadi dilema kami." ungkap Pak Pras, saat berada di High Grounds Indonesia.

"Namun kita tidak terpaku pada hal itu, kita tetap coba dengan seleksi dan program kerja yang sudah ditentukan sesuai standar. Detil seleksi akan kami serahkan kepada mereka yang bisa dibilang sebagai alumni dan sudah berkomitmen, sebagai fasilitator dan tutor. Asalkan tidak menggangu kegiatan kuliah mereka, itu bisa dilakukan, bahkan bisa juga seleksi dan proses latihan tetap dipantau secara online."


Diana Tjong, Henry Yacob, Lucky Riyadi & Emereanus Prasetyo

Ternyata, selain mendapatkan tantangan untuk memberikan pemahaman kepada kepala sekolah dan juga orang tua. Masih ada kesulitan lain yang dihadapi terkait regenerasi untuk tetap bisa melanjutkan tradisi berkompetisi agar berkesinambungan ke depannya.

Memang tidak mudah ya merangsang para murid untuk mau menunjukkan diri mereka, padahal miliki bakat dan minat dalam bidang esports. Mungkin, masih berada di zona malu-malu atau memang kurang percaya diri sehingga harus dipancing terlebih dahulu? Jawabannya, tentu Sobat Esports sendiri ya yang tahu!

Setelah dilegalkannya esports di sekolah, seharusnya kamu bisa lebih percaya diri untuk menunjukkan minat dan bakat dalam bidang esports! Bukan begitu?!