Yohannes Siagian "Tugas Sekolah Bukan Untuk Kasih Siswa NEM Tinggi!"

Rendy Lim
04/09/2020 17:38 WIB
Yohannes Siagian "Tugas Sekolah Bukan Untuk Kasih Siswa NEM Tinggi!"
Apakah kalian setuju dengan pernyataan Pak Yohannes dan Bu Ghea?

Sesi konferensi pers untuk Piala Menpora 2020 kembali hadir. Mengusung tema "Sinergi peran orangtua & dukungan sekolah", momen ini dihadiri insan pendidikan seperti Yohannes Siagian, praktisi dan akademisi esports dari PSKD serta Ghea Amalia ,M.Psi, seorang psikolog pemerhati esports.

Mereka berdua menjelaskan seluk beluk dunia pelajar dan dinamika esports yang kerap disepelekan sebagai ladang potensial untuk karir di masa depan nanti. Padahal, esports tak melulu soal main game dan jadi atlet esports, banyak juga karir-karir pendukung yang bersinggungan dengan industri esports.

Lantas, bagaimana peran sekolah dalam mengedukasi orangtua bahwa esports adalah hal yang positif bahkan bisa jadi peluang kerja menjanjikan?

"Ada cerita lucu saat anak sekolah masuk kelas 2 SMA akhir, dukungan sekolah terhadap apapun yang bukan Ujian Nasional tiba-tiba hilang. Mau eskul, ngga bisa kamu sudah kelas 3, mau basket, wah kamu (siswa) tahun depan UN. Anak-anak akhir kabur-kaburan, 15 tahun kemudian pas dia jadi artis, jadi atlet nasional, semua gurunya bilang, itu murid gua loh" ungkap Yohannes.

Ia menambahkan "Benar, tapi apa yang sekolah lakukan untuk membantu siswa mencapai titik itu? Jadi apa yang perlu sekolah lakukan? Sekolah perlu BANTU anak-anaknya mendalami bidang-bidang ini. Tugas sekolah itu bukan kasih NEM tinggi ke anak, tapi membantu anak semakin dekat ke cita-citanya"

Senada dengan ucapan Bu Ghea, psikolog di salah satu universitas di Banjarmasin ini mengatakan "Saya tidak memungkiri juga, masih sampai sekarang, orangtua itu menginginkan anak bekerja dalam bidang yang sudah diketahui sebelumnya." tutur Ghea

Jadi, sekolah perlu menyaring informasi terkait esports dan mengedukasi orangtua kalau banyak juga profesi dan karir lain dalam esports yang bukan hanya jadi atlet profesional saja."

Ghea memberi contoh, misalnya, ada anak yang suka menulis tapi suka main game juga, maka ia berpotensi jadi jurnalis game nanti. Sekolah mesti peka melihat potensi, hobi, minat dan bakat anak lalu mengembangkannya agar jadi bekal di dunia kerja nanti.

Kalau sistem kurikulum di sekolah bisa seperti itu, pasti lebih banyak anak sekolah yang bisa berprestasi di berbagai disiplin termasuk esports. Apakah kalian setuju dengan pernyataan Pak Yohannes dan Bu Ghea?