Meluruskan Stigma Miring Tentang Esports di Masyarakat

Billy Rifki
16/12/2020 14:46 WIB
Meluruskan Stigma Miring Tentang Esports di Masyarakat
Esports.ID

Esports adalah fenomena industri hiburan yang kian digandrungi masyarakat. Hampir tiap negara diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia melangsungkan event olahraga kompetitif berbasis video game ini. Esports bukan cuma seru-seruan namun telah menjadi bisnis besar yang bahkan melampaui keuntungan dari industri musik dan film digabungkan.

Sayangnya, masih banyak sekelompok orang yang memiliki stigma-stigma miring tentang esports. Mereka memandang main game tetaplah main game, tak banyak keuntungan selain buang-buang waktu dan hal yang sia-sia.

- ESPORTS SAMA SAJA DENGAN MAIN GAME

Esports bukan sekedar duduk depan layar, mengendalikan karakter di permainan dan menghabiskan waktu berjam-jam tanpa hasil nyata. Esports adalah olahraga digital yang mana dibutuhkan atlet betulan dengan skill dan mental di atas rata-rata pemain game biasa.

Atlet esports punya jadwal latihan, mengikuti turnamen mulai dari yang berskala kecil, tingkat nasional bahkan kejuaraan dunia. Pada ujungnya, mereka bisa mendapatkan hadiah berupa uang ratusan juta hingga miliaran Rupiah. Sedangkan main game bisa dilakukan kapanpun tanpa ada benefit nyata selain kepuasan saja.

- ESPORTS BUANG-BUANG WAKTU

Benar. Esports adalah karir bagi kalian yang punya keberanian untuk mengorbankan banyak hal. Mulai dari keluarga, teman bahkan pendidikan. Banyak atlet esports yang memulai kiprah mereka di usia masih belia atau di bangku sekolah. Mereka harus bersembunyi-sembunyi saat berlatih hingga mengikuti turnamen tanpa diketahui orang tua.

Ketika mereka memetik hasil, barulah mereka menunjukan kepada orang terdekat usaha mereka sekian lama. Menembus scene esports di Indonesia sendiri tidak mudah. Ada puluhan sampai ratusan ribu anak muda yang ingin jadi pro player. Namun, jumlah yang terseleksi mungkin tak sampai 1% menjadi profesional.

Seseorang yang ingin berhasil di dunia esports harus memulai dari bawah, mendapat pengakuan seraya reputasinya berkembang dalam game yang ia tekuni hingga dilirik oleh organisasi esports kenamaan. Prosesnya mungkin panjang, namun ketika berhasil, semua itu terbayarkan seketika.

Ambil contoh Alberttt, pemain Mobile Legends dari tim RRQ Hoshi. Awalnya hanya iseng ikut trial, sempat ditolak dan akhirnya masuk di tim lapis dua RRQ. Di ajang MPL, liga Mobile Legends berskala nasional, ia diorbitkan ke tim inti. Ia tak cuma memulai debut yang manis di turnamen besar pertamanya, Alberttt juga menjadi juara dan kini dijuluki "Baby Alien".

Tak semua kisah pemain esports seperti Alberttt. Ada yang mengembangnya butuh waktu lama, ada yang tak kunjung mekar, namun berhasil di lini lain bidang esports. Banyak juga yang meledak lalu hilang kemudian karena tak mampu mengendalikan arus popularitas.

- ESPORTS TIDAK MENYEHATKAN

Bermain game dalam waktu lama memang punya banyak dampak buruk. Mulai dari kerusakan mata, cidera tangan, punggung dan kepala sampai bahaya radiasi. Namun, esports bukanlah main game.

Dalam esports ada jadwal latihan, di mana satu pemain bersama rekan setim akan diuji kekompakan, komunikasi dan skill secara kolektif. Mereka juga diajarkan strategi layaknya pemain catur harus memposisikan bidak dengan cepat dan tepat. Di sela-sela itu, pemain esports melakukan aktivitas olahraga guna menjaga fisik tetap prima saat turnamen tiba.

Atlet esports juga tak bisa sembarangan mengkonsumsi sesuatu. Biasanya, tiap organisasi memiliki chef atau koki rumahan yang mengatur menu makanan untuk para atlet di sana sehingga mereka mendapat nutrisi yang baik dan mencukupi.

-ESPORTS TIDAK PUNYA MASA DEPAN

Esports di Indonesia dan mungkin dunia masih terbilang bayi yang baru belajar merangkak. Meski begitu, euforia dan kegelimangan fantasi soal keberhasilan esports sudah menarik banyak pihak berkolaborasi didalamnya.

Seperti disebutkan di atas, salah satu industri dengan pendapatan terbesar adalah musik dan film. Keduanya punya total keuntungan $300 miliar USD per tahun pada 2025 nanti. Namun, esports sudah melampauinya.

Menurut Statisa, pendapatan esports dan video game sudah melesat senilai $950 miliar USD pada 2023 mendatang. Jadi, tak heran bila berbagai turnamen bakal tetap hadir, game baru muncul melahirkan bakat-bakat fenomenal baru dan hadiah uang yang digelontorkan makin tak masuk akal.

Bagi sebagian anak muda, esports bukan lagi masa depan. Esports adalah tujuan yang akan mereka raih saat ini.

Itu dia beberapa stigma masyarakat tentang esports yang masih sering kita dengar. Mudah-mudah dengan banyaknya pemuda Indonesia yang berhasil, esports bisa membuka mata dan lebih diterima oleh mayoritas publik.

Siapa tahu, esports adalah solusi bangsa untuk mengatasi pengangguran nasional, iya kan Sobat Esports?